Agar Tidak Merugi

Bila kita ditanya, siapa diantara kita yang mau merugi? Tentu jawbannya tidak ada seseorang pun yang mau merugi. Dalam urusan dagang/bisnis di dunia saja kita tidak mau merugi. Padahal kalau di dunia, misalkan kita rugi dalam satu kontrak, kita bisa mengusahakan agar kita tidak rugi di kontrak berikutnya, bahkan kalau bisa keuntungan dari kontrak berikutnya bisa menutupi kerugian di kontrak sebelumnya. Merugi di dunia yang mana masih bisa untuk memperbaiki di lain kesempatan saja kita tidak mau, sebisa mungkin kita hindari, apalagi rugi di akhirat yang mana seseorang tidak akan bisa lagi untuk memperbaikinya.

Definisi orang yang akan merugi disebutkan oleh Allah swt di surat Al Kahfi ayat 103 dan 104:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”

ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

Dari firman Allah swt tersebut, kita bisa memahami bahwa definisi orang yang merugi adalah orang yang merasa bahwa dirinya telah beramal, namun ternyata di akhirat amalan tersebut tidak bermanfaat sama sekali bagi dirinya. Ketika di dunia, ia telah mengelurkan banyak modal berupa waktu, harta, tenaga dan pikiran, tapi ternyata tidak di akhirat ia tidak mendapatkan keuntungan sama sekali dari apa yang telah ia keluarkan.

Agar kita tidak menjadi orang yang merugi, mari kita simak firman Allah swt di surat Al Ashr ayat 1 sampai 3:

وَٱلْعَصْرِ

Demi masa.

إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ

Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Dari ayat tersebut, setidaknya ada tiga poin yang membuat seorang bisa terhindar dari kerugian di akhirat.

Pertama: Beriman kepada Allah swt. Allah swt berfirman di surat Az Zumar ayat 65:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi

Allah swt juga memberikan perumpaan tentang amalan orang yang tidak beriman. Allah swt berfirman di surat Ibrahim ayat 18:

مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ

Perumpamaan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.

Dari ayat tersebut, kita dapat memahami bahwa masuk agama Islam, yaitu beriman kepada Allah dan rukun iman lainnya merupakan syarat diterimanya amal.

Allah swt berfirman di surat Al Hajj ayat 11:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ

Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.

Para ulama menafsirkan bahwa ayat tersebut merupakan gambaran orang yang imannya lemah. Ketika Allah swt memberi kenikmatan duniawi, maka orang tersebut akan tetap beribadah kepada Allah swt. Namun bila Allah swt mencabut nikmat darinya, orang tersebut akan keluar dari agama Islam. Ketika ia keluar dari agama Islam maka amalan yang sudah ia perbuat sebelumnya akan terhapus.

Bagi kita yang beriman kepada Allah swt, firman Allah swt di surat Al Hajj ayat 11 hendaknya dapat menjadi bahan instropeksi diri. Ketika kita beribadah, hendaknya kita beribadah secara ikhlas dan semata-mata untuk Allah swt. Jangan sampai kita beribadah namun niat kita dalam beribadah adalah semata-mata untuk mendapatkan kenikmatan duniawi. Bila kita beribadah semata-mata karena ingin mendapatkan nikmat dunia, maka kelak di akhirat kita sudah tidak mendapatkan manfaat dari amal ibadah kita lagi. Allah swt berfirman di surat Hud ayat 15 dan 16.

مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَٰلَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.

أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا۟ فِيهَا وَبَٰطِلٌ مَّا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.

Oleh karena itu, mari kita menjaga hati kita sehingga ketika kita beribadah kepada Allah swt kita bersungguh-sungguh dalam mengharap pahala di akhirat.

Kedua: Senantiasa beramal shalih. Allahswt berfirman di surat Al A’raf ayat 8

فَمَن ثَقُلَتْ مَوَٰزِينُهُۥ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Dari firman Allah swt tersebut kita bisa memahami bahwa definisi orang yang beruntung di akhirat adalah orang yang berat timbangan amal baiknya. Oleh karena itu, mari kita manfaatkan segala sumber daya kita untuk beramal, baik itu amal yang besar maupun amal yang kecil.

Selain fokus pada hal memperbanyak amal shalih kita juga hendaknya memperhatikan hal-hal yang dapat menghapus amal shalih. Bila seseorang sudah beramal namun ternyata di akhirat kita tidak dapat manfaat dari amal tersebut, maka orang tersebut termasuk orang yang merugi. Rasulullah saw pernah bersabda,

أتَدرونَ ما المُفلِسُ ؟ إنَّ المُفلسَ من أُمَّتي مَن يأتي يومَ القيامةِ بصلاةٍ وصيامٍ ، وزكاةٍ ، ويأتي وقد شتَم هذا ، وقذَفَ هذا ، وأكلَ مالَ هذا ، وسفكَ دمَ هذا ، وضربَ هذا ، فيُعْطَى هذا من حَسناتِه ، وهذا من حسناتِه ، فإن فَنِيَتْ حَسناتُه قبلَ أن يُقضَى ما عليهِ ، أُخِذَ من خطاياهم ، فطُرِحَتْ عليهِ ، ثمَّ طُرِحَ في النَّارِ

“Tahukah kalian siapa muflis (orang yang bangkrut) itu?”

“Muflis (orang yang bangkrut) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Muslim)

Dari pejelasan Rasulullah saw tersebut, kita dapat memahami bahwa berbuat dzalim kepada orang lain merupakan salah satu hal yang dapat menghapus amal baik. Bila kita cermati sabda Rasulullah saw, beliau menjelaskan salah satu sumber kedzaliman adalah lisan.

Oleh karena itu, marilah kita senantiasa berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu, jangan sampai kita menjatuhkan orang lain dan menuduh orang lain tanpa hak. Di zaman sekarang ini lisan bisa dianalogikan dengan jari, karena mudah bagi kita untuk menyampaikan pendapat dengan ketikan. Oleh karena itu, marilah lebih berhati-hati dalam menyampaikan pendapat di media sosial dan juga ketika ingin menyebarkan informasi. Supaya kita bisa lebih berhati-hati dalam hal ini, mari kita senantiasa ingat firman Allah swt di surat Al Hujarat ayat 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Tabayyun akan membantu kita untuk menjaga hati kita agar tidak mudah berprasangka buruk terhadap orang lain, khususnya kepada saudara seiman. Rasulullah saw juga bersabda,

إيَّاكُمْ والظَّنَّ، فإنَّ الظَّنَّ أكْذَبُ الحَديثِ، ولا تَحَسَّسُوا، ولا تَجَسَّسُوا، ولا تَنافَسُوا، ولا تَحاسَدُوا، ولا تَباغَضُوا، ولا تَدابَرُوا، وكُونُوا عِبادَ اللهِ إخْوانًا.

Waspadalah terhadap prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling batil, dan janganlah memata-matai dan mencari-cari kesalahan (orang lain), janganlah bersaing dan saling dengki, janganlah saling membenci dan berpaling, (namun) jadilah hamba Allah yang saling bersaudara (HR. Bukhari)

Dengan mengingat firman Allah swt dan pesan Rasulullah saw tersebut, semoga kita lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi dan juga mengomentari sesuatu. Tidak semua berita harus kita sebarkan dan tidak semua kejadian harus kita komentari, terutama bila menyangkut dengan suatu individu seperti para pemimpin.

Ketiga: Saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Allah swt berfirman di surat Al Baqarah ayat 286:

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami (tidak kuasa) melakukan salah.

Dari firman Allah tersebut, kita dapat memahami bahwa manusia terkadang lupa dan juga terkadang terjerumus dalam kesalahan. Oleh karena itu, kita hendaknya senantiasa saling menasehati. Allah swt juga befirman di surat At Taubah ayat 71:

وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dari firman Allah swt tersebut, kita juga bisa memahami bahwa saling menasehati dalam kebaikan merupakan salah satu sebab kita mendapatkan rahmat dari Allah swt. Rahmat Allah swt ketika didunia dapat kita terima dalam bentuk Kesehatan, kemudahan urusan, dan yang lainnya. Sedangkan ketika di akhirat kelak, rahmat Allah swt merupakan kunci masuk surga. Rasulullah saw bersabda,

فإنَّه لَنْ يُدْخِلَ الجَنَّةَ أحَدًا عَمَلُهُ قالوا: ولا أنْتَ؟ يا رَسولَ اللهِ، قالَ: ولا أنا، إلَّا أنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ منه برَحْمَةٍ، واعْلَمُوا أنَّ أحَبَّ العَمَلِ إلى اللهِ أدْوَمُهُ وإنْ قَلَّ

Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga. Beberapa sahabat bertanya, “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah. Ketahuilah bahwa amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang rutin meskipun sedikit”

Di surat Al Ashr Allah swt menyebutkan secara spesifik bahwa kita perlu saling menasehati dalam kesabaran. Salah satu pesan yang dapat kita ambil adalah ternyata kesabaran merupakan amalan yang memiliki keutamaan yang sangat besar. Allah swt berfirman di surat Az Zumar ayat 10:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

Dari ayat tersebut, kita dapat memahami bahwa Allah swt menjanjikan pahala tanpa batas bagi orang yang bersabar. Karena pahala sabar tidak ada batasnya, kita juga bisa mengambil kesimpulan bahwa sabar itu juga tidak ada batasnya. Kalau kita ingat kembali, ada satu firman Allah swt yang cukup terkenal di bulan Ramadhan. Allah swt befirman dalam hadist qudsi:

كلُّ عملِ ابنِ آدمَ له إلا الصومَ ، فإنه لي وأنا أجزي به. الحديثُ

Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. (HR. Bukhari)

Puasa juga merupakan ibadah yang pahalanya tidak terbatas. Salah satu hikmahnya adalah karena dalam berpuasa kita senantiasa bersabar dalam menahan diri dari hal-hal yang Allah swt perintahkan untuk ditinggalkan. Dari sini kita juga bisa memahami bahwa bersabar karena perintah Allah swt, contohnya ketika kita berpuasa kita sabar untuk tidak makan dan minum, memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibanding sabar karena hal biasa, contohnya kita terkena pisau lalu kita bersabar menahan luka tersebut.

Hal ini bisa semakin kita pahami ketika kita sadar bahwa ketika seseorang menerima musibah maka baik ia bersabar atau tidak bersabar maka musibah tersebut tetap akan menimpanya. Artinya, ia tidak punya pilihan untuk tidak terkena musibah tersebut. Namun, ketika seseorang bersabar karena menjalankan agama, ia memiliki pilihan untuk bersabar atau tidak. Sama seperti halnya puasa, kita punya pilihan untuk berpuasa atau tidak.

Allah swt juga memberi contoh dalam kisah para nabi. Kita tahu bahwa nabi Ayyub as selain menderita sakit selama delapan belas tahun, beliau juga kehilangan anak-anak yang dicintainya dan juga kehilangan harta. Karena kesabaran beliau, Allah swt memberi predikat hamba yang paling baik dan paling bertakwa, sebagaimana firman Allah swt di surat Shad ayat 44.

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah)

Adapun nabi Muhammad saw, Allah swt karuniai predikat ulul ‘azmi sebagaimana firman Allah swt di surat Al Ahqaf ayat 35:

فَٱصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْعَزْمِ مِنَ ٱلرُّسُلِ

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar

Di surat Al Ahzab ayat 7 Allah swt menyebutkan nama Rasul yang mendapatkan predikat ulul azmi:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ مِيثَٰقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَى ٱبْنِ مَرْيَمَ ۖ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا

Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.

Di ayat tersebut Allah swt memberi Rasulullah saw predikat ulul ‘azmi karena kesabaran beliau yang luar biasa dalam menjalankan perintah Allah swt. Sebagai contoh, beliau bersabar untuk tetap meningalkan kota kelahiran beliau. Kita tahu bahwa meninggalkan kota kelahiran itu sangat berat. Dan Rasulullah saw memiliki pilihan untuk tetap di Makkah bila beliau as mau meninggalkan dakwah. Tapi Rasulullah saw memilih untuk tetap berdakwah dan meninggalkan Makkah.

Oleh karena itu marilah kita senantiasa berlatih untuk terus meningkatkan ruang kesabaran kita baik dalam musibah dan terlebih lagi bersabar dalam menjalankan perintah Allah swt sehingga kita dapat meraih pahala yang besar di sisi Allah swt.

Sebagai penutup, mari kita simak firman Allah swt di surat Al A’raf ayat 142:

وَقَالَ مُوسَىٰ لِأَخِيهِ هَٰرُونَ ٱخْلُفْنِى فِى قَوْمِى وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ ٱلْمُفْسِدِينَ

Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan”.

Di surat Al A’raf tersebut Allah swt menceritakan kisah nabi Musa as dan nabi Harun as. Meski beliau berdua ‘alaihimassalaam merupakan seorang nabi, beliau berdua masih tetap saling menasehati. Dalam hal ini nabi Musa as memberi nasihat kepada nabi Harun as. Bila para nabi pun Allah swt saling menasehati, kita sebagai manusia biasa tentunya harus semakin sering dalam memberi dan menerima nasihat.

Muflih A. Adnan

504 Jackson Pl

Calgary, AB

Canada

Sabtu, 9 Desember 2023 pukul 09.13 am

Leave a comment