Agar Tidak Merugi

Bila kita ditanya, siapa diantara kita yang mau merugi? Tentu jawbannya tidak ada seseorang pun yang mau merugi. Dalam urusan dagang/bisnis di dunia saja kita tidak mau merugi. Padahal kalau di dunia, misalkan kita rugi dalam satu kontrak, kita bisa mengusahakan agar kita tidak rugi di kontrak berikutnya, bahkan kalau bisa keuntungan dari kontrak berikutnya bisa menutupi kerugian di kontrak sebelumnya. Merugi di dunia yang mana masih bisa untuk memperbaiki di lain kesempatan saja kita tidak mau, sebisa mungkin kita hindari, apalagi rugi di akhirat yang mana seseorang tidak akan bisa lagi untuk memperbaikinya.

Definisi orang yang akan merugi disebutkan oleh Allah swt di surat Al Kahfi ayat 103 dan 104:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”

ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

Dari firman Allah swt tersebut, kita bisa memahami bahwa definisi orang yang merugi adalah orang yang merasa bahwa dirinya telah beramal, namun ternyata di akhirat amalan tersebut tidak bermanfaat sama sekali bagi dirinya. Ketika di dunia, ia telah mengelurkan banyak modal berupa waktu, harta, tenaga dan pikiran, tapi ternyata tidak di akhirat ia tidak mendapatkan keuntungan sama sekali dari apa yang telah ia keluarkan.

Agar kita tidak menjadi orang yang merugi, mari kita simak firman Allah swt di surat Al Ashr ayat 1 sampai 3:

وَٱلْعَصْرِ

Demi masa.

إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ

Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Dari ayat tersebut, setidaknya ada tiga poin yang membuat seorang bisa terhindar dari kerugian di akhirat.

Pertama: Beriman kepada Allah swt. Allah swt berfirman di surat Az Zumar ayat 65:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi

Allah swt juga memberikan perumpaan tentang amalan orang yang tidak beriman. Allah swt berfirman di surat Ibrahim ayat 18:

مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ

Perumpamaan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.

Dari ayat tersebut, kita dapat memahami bahwa masuk agama Islam, yaitu beriman kepada Allah dan rukun iman lainnya merupakan syarat diterimanya amal.

Allah swt berfirman di surat Al Hajj ayat 11:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ

Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.

Para ulama menafsirkan bahwa ayat tersebut merupakan gambaran orang yang imannya lemah. Ketika Allah swt memberi kenikmatan duniawi, maka orang tersebut akan tetap beribadah kepada Allah swt. Namun bila Allah swt mencabut nikmat darinya, orang tersebut akan keluar dari agama Islam. Ketika ia keluar dari agama Islam maka amalan yang sudah ia perbuat sebelumnya akan terhapus.

Bagi kita yang beriman kepada Allah swt, firman Allah swt di surat Al Hajj ayat 11 hendaknya dapat menjadi bahan instropeksi diri. Ketika kita beribadah, hendaknya kita beribadah secara ikhlas dan semata-mata untuk Allah swt. Jangan sampai kita beribadah namun niat kita dalam beribadah adalah semata-mata untuk mendapatkan kenikmatan duniawi. Bila kita beribadah semata-mata karena ingin mendapatkan nikmat dunia, maka kelak di akhirat kita sudah tidak mendapatkan manfaat dari amal ibadah kita lagi. Allah swt berfirman di surat Hud ayat 15 dan 16.

مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَٰلَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.

أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا۟ فِيهَا وَبَٰطِلٌ مَّا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.

Oleh karena itu, mari kita menjaga hati kita sehingga ketika kita beribadah kepada Allah swt kita bersungguh-sungguh dalam mengharap pahala di akhirat.

Kedua: Senantiasa beramal shalih. Allahswt berfirman di surat Al A’raf ayat 8

فَمَن ثَقُلَتْ مَوَٰزِينُهُۥ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Dari firman Allah swt tersebut kita bisa memahami bahwa definisi orang yang beruntung di akhirat adalah orang yang berat timbangan amal baiknya. Oleh karena itu, mari kita manfaatkan segala sumber daya kita untuk beramal, baik itu amal yang besar maupun amal yang kecil.

Selain fokus pada hal memperbanyak amal shalih kita juga hendaknya memperhatikan hal-hal yang dapat menghapus amal shalih. Bila seseorang sudah beramal namun ternyata di akhirat kita tidak dapat manfaat dari amal tersebut, maka orang tersebut termasuk orang yang merugi. Rasulullah saw pernah bersabda,

أتَدرونَ ما المُفلِسُ ؟ إنَّ المُفلسَ من أُمَّتي مَن يأتي يومَ القيامةِ بصلاةٍ وصيامٍ ، وزكاةٍ ، ويأتي وقد شتَم هذا ، وقذَفَ هذا ، وأكلَ مالَ هذا ، وسفكَ دمَ هذا ، وضربَ هذا ، فيُعْطَى هذا من حَسناتِه ، وهذا من حسناتِه ، فإن فَنِيَتْ حَسناتُه قبلَ أن يُقضَى ما عليهِ ، أُخِذَ من خطاياهم ، فطُرِحَتْ عليهِ ، ثمَّ طُرِحَ في النَّارِ

“Tahukah kalian siapa muflis (orang yang bangkrut) itu?”

“Muflis (orang yang bangkrut) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Muslim)

Dari pejelasan Rasulullah saw tersebut, kita dapat memahami bahwa berbuat dzalim kepada orang lain merupakan salah satu hal yang dapat menghapus amal baik. Bila kita cermati sabda Rasulullah saw, beliau menjelaskan salah satu sumber kedzaliman adalah lisan.

Oleh karena itu, marilah kita senantiasa berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu, jangan sampai kita menjatuhkan orang lain dan menuduh orang lain tanpa hak. Di zaman sekarang ini lisan bisa dianalogikan dengan jari, karena mudah bagi kita untuk menyampaikan pendapat dengan ketikan. Oleh karena itu, marilah lebih berhati-hati dalam menyampaikan pendapat di media sosial dan juga ketika ingin menyebarkan informasi. Supaya kita bisa lebih berhati-hati dalam hal ini, mari kita senantiasa ingat firman Allah swt di surat Al Hujarat ayat 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Tabayyun akan membantu kita untuk menjaga hati kita agar tidak mudah berprasangka buruk terhadap orang lain, khususnya kepada saudara seiman. Rasulullah saw juga bersabda,

إيَّاكُمْ والظَّنَّ، فإنَّ الظَّنَّ أكْذَبُ الحَديثِ، ولا تَحَسَّسُوا، ولا تَجَسَّسُوا، ولا تَنافَسُوا، ولا تَحاسَدُوا، ولا تَباغَضُوا، ولا تَدابَرُوا، وكُونُوا عِبادَ اللهِ إخْوانًا.

Waspadalah terhadap prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling batil, dan janganlah memata-matai dan mencari-cari kesalahan (orang lain), janganlah bersaing dan saling dengki, janganlah saling membenci dan berpaling, (namun) jadilah hamba Allah yang saling bersaudara (HR. Bukhari)

Dengan mengingat firman Allah swt dan pesan Rasulullah saw tersebut, semoga kita lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi dan juga mengomentari sesuatu. Tidak semua berita harus kita sebarkan dan tidak semua kejadian harus kita komentari, terutama bila menyangkut dengan suatu individu seperti para pemimpin.

Ketiga: Saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Allah swt berfirman di surat Al Baqarah ayat 286:

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami (tidak kuasa) melakukan salah.

Dari firman Allah tersebut, kita dapat memahami bahwa manusia terkadang lupa dan juga terkadang terjerumus dalam kesalahan. Oleh karena itu, kita hendaknya senantiasa saling menasehati. Allah swt juga befirman di surat At Taubah ayat 71:

وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dari firman Allah swt tersebut, kita juga bisa memahami bahwa saling menasehati dalam kebaikan merupakan salah satu sebab kita mendapatkan rahmat dari Allah swt. Rahmat Allah swt ketika didunia dapat kita terima dalam bentuk Kesehatan, kemudahan urusan, dan yang lainnya. Sedangkan ketika di akhirat kelak, rahmat Allah swt merupakan kunci masuk surga. Rasulullah saw bersabda,

فإنَّه لَنْ يُدْخِلَ الجَنَّةَ أحَدًا عَمَلُهُ قالوا: ولا أنْتَ؟ يا رَسولَ اللهِ، قالَ: ولا أنا، إلَّا أنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ منه برَحْمَةٍ، واعْلَمُوا أنَّ أحَبَّ العَمَلِ إلى اللهِ أدْوَمُهُ وإنْ قَلَّ

Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga. Beberapa sahabat bertanya, “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah. Ketahuilah bahwa amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang rutin meskipun sedikit”

Di surat Al Ashr Allah swt menyebutkan secara spesifik bahwa kita perlu saling menasehati dalam kesabaran. Salah satu pesan yang dapat kita ambil adalah ternyata kesabaran merupakan amalan yang memiliki keutamaan yang sangat besar. Allah swt berfirman di surat Az Zumar ayat 10:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

Dari ayat tersebut, kita dapat memahami bahwa Allah swt menjanjikan pahala tanpa batas bagi orang yang bersabar. Karena pahala sabar tidak ada batasnya, kita juga bisa mengambil kesimpulan bahwa sabar itu juga tidak ada batasnya. Kalau kita ingat kembali, ada satu firman Allah swt yang cukup terkenal di bulan Ramadhan. Allah swt befirman dalam hadist qudsi:

كلُّ عملِ ابنِ آدمَ له إلا الصومَ ، فإنه لي وأنا أجزي به. الحديثُ

Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. (HR. Bukhari)

Puasa juga merupakan ibadah yang pahalanya tidak terbatas. Salah satu hikmahnya adalah karena dalam berpuasa kita senantiasa bersabar dalam menahan diri dari hal-hal yang Allah swt perintahkan untuk ditinggalkan. Dari sini kita juga bisa memahami bahwa bersabar karena perintah Allah swt, contohnya ketika kita berpuasa kita sabar untuk tidak makan dan minum, memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibanding sabar karena hal biasa, contohnya kita terkena pisau lalu kita bersabar menahan luka tersebut.

Hal ini bisa semakin kita pahami ketika kita sadar bahwa ketika seseorang menerima musibah maka baik ia bersabar atau tidak bersabar maka musibah tersebut tetap akan menimpanya. Artinya, ia tidak punya pilihan untuk tidak terkena musibah tersebut. Namun, ketika seseorang bersabar karena menjalankan agama, ia memiliki pilihan untuk bersabar atau tidak. Sama seperti halnya puasa, kita punya pilihan untuk berpuasa atau tidak.

Allah swt juga memberi contoh dalam kisah para nabi. Kita tahu bahwa nabi Ayyub as selain menderita sakit selama delapan belas tahun, beliau juga kehilangan anak-anak yang dicintainya dan juga kehilangan harta. Karena kesabaran beliau, Allah swt memberi predikat hamba yang paling baik dan paling bertakwa, sebagaimana firman Allah swt di surat Shad ayat 44.

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah)

Adapun nabi Muhammad saw, Allah swt karuniai predikat ulul ‘azmi sebagaimana firman Allah swt di surat Al Ahqaf ayat 35:

فَٱصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْعَزْمِ مِنَ ٱلرُّسُلِ

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar

Di surat Al Ahzab ayat 7 Allah swt menyebutkan nama Rasul yang mendapatkan predikat ulul azmi:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ مِيثَٰقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَى ٱبْنِ مَرْيَمَ ۖ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا

Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.

Di ayat tersebut Allah swt memberi Rasulullah saw predikat ulul ‘azmi karena kesabaran beliau yang luar biasa dalam menjalankan perintah Allah swt. Sebagai contoh, beliau bersabar untuk tetap meningalkan kota kelahiran beliau. Kita tahu bahwa meninggalkan kota kelahiran itu sangat berat. Dan Rasulullah saw memiliki pilihan untuk tetap di Makkah bila beliau as mau meninggalkan dakwah. Tapi Rasulullah saw memilih untuk tetap berdakwah dan meninggalkan Makkah.

Oleh karena itu marilah kita senantiasa berlatih untuk terus meningkatkan ruang kesabaran kita baik dalam musibah dan terlebih lagi bersabar dalam menjalankan perintah Allah swt sehingga kita dapat meraih pahala yang besar di sisi Allah swt.

Sebagai penutup, mari kita simak firman Allah swt di surat Al A’raf ayat 142:

وَقَالَ مُوسَىٰ لِأَخِيهِ هَٰرُونَ ٱخْلُفْنِى فِى قَوْمِى وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ ٱلْمُفْسِدِينَ

Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan”.

Di surat Al A’raf tersebut Allah swt menceritakan kisah nabi Musa as dan nabi Harun as. Meski beliau berdua ‘alaihimassalaam merupakan seorang nabi, beliau berdua masih tetap saling menasehati. Dalam hal ini nabi Musa as memberi nasihat kepada nabi Harun as. Bila para nabi pun Allah swt saling menasehati, kita sebagai manusia biasa tentunya harus semakin sering dalam memberi dan menerima nasihat.

Muflih A. Adnan

504 Jackson Pl

Calgary, AB

Canada

Sabtu, 9 Desember 2023 pukul 09.13 am

Konsep hidup seorang mukmin

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat Adz Zariyat ayat 56,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Dari ayat tersebut kita dapat memahami bahwa tujuan utama kita hidup di dunia ini adalah mengabdi kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Setelah kita memahami bahwa tujuan utama kita hidup di dunia adalah untuk mengabdi kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka hendaknya segala sesuatu yang kita lakukan di dunia hendaknya selalu melibatkan Allah subhanahu wa ta’ala. Pada pertemuan kali ini mari kita simak empat konsep hidup seorang mukmin.

Pertama: Setiap aktivitas merupakan interaksi dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Pelu kita pahami bahwa meski dalam kehidupan di dunia ini kita berinteraksi dengan manusia, maka pada dasarnya kita sedang berinteraksi dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagai manusia, kita pasti punya kewajiban yang harus kita tunaikan kepada orang lain dan kita juga punya hak yang bisa kita minta dari orang lain. Dalam hal ini mari kita utamakan kewajiban kita dari pada hak kita karena kita nanti pasti akan dimintai pertanggung jawaban atas kewajiban tersebut.

Sebagai contoh, bila Allah subhanahu wa ta’ala mengaruniai kita harta yang banyak, lebih dari nishab, maka kita memiliki kewajiban untuk menyerahkan sebagian harta yang ada pada diri kita kepada orang lain yang Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan kesempitan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat Al Baqarah ayat 254,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِمَّا رَزَقْنَٰكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِىَ يَوْمٌ لَّا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَٰعَةٌ

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at.

Ketika kita memberikan sebagian harta kepada orang yang membutuhkan, secara fisik kita memang berinteraksi dengan orang tersebut, namun secara hati kita perlu meyakini dan menyadari bahwa kita kita sedang berinteraksi dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Dampak dari kesadaran tersebut adalah kita akan ikhlas dalam bersedekah dan kita tidak mengharapkan sedikitpun balasan dari orang tersebut. Artinya, meski orang yang kita beri sedekah tidak mengucapkan terima kasih kepada kita, atau bahkan terkadang malah mencela kita, mungkin karena nominal yang kita beri tidak sesuai harapannya, kita akan tetap berbahagia karena pada dasarnya sedekah itu perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan kita sedang menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat Al Insan ayat 8 dan 9 ketika menggambarkan sifat ahli surga:

وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَآءً وَلَا شُكُورًا

Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.

Ada banyak sekali aspek dalam kehidupan di mana ketika kita meyakini bahwa pada dasarnya kita berinteraksi kepada Allah subhanahu wa ta’ala maka kita akan merasa ringan dalam menjalankan kewajiban tersebut. Seperti halnya, sebagai suami kita ringan ketika bekerja dan memenuhi hak-hak istri dan anak, sebagai istri juga ringan memenuhi hak-hak suami dan anak.

Kedua: Meminta tolong kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan berdoa. Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

الدُّعاءُ هو العبادةُ ثمَّ قرأ {وَقال رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ داخِرِينَ}

Doa adalah ibadah, lalu beliaushallalahu ‘alayhi wa sallam membaca (QS Al Mu’min ayat 60), “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”.(HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dari hadist tersebut ada tiga hal yang bisa pahami, pertama doa adalah inti ibadah. Mari kita ingat kembali sabda Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam tentang haji, beliau bersabda,

الحَجُّ عَرَفةُ

Haji itu adalah Arafah.(HR. Nasa’I, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Artinya, inti dari ibadah haji adalah wukuf di arafah. Kita semua tahu bahwa haji tidak sah tanpa melaksanakan wukuf di Arafah. Bila kita padankan dengan sabda beliau shallalahu ‘alayhi wa sallam dalam menerangkan posisi doa, maka kita bisa pahami bahwa doa adalah inti dari ibadah.

Poin kedua yang bisa kita pahami dari hadist tersebut adalah, doa merupakan wujud dari ketundukan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengakui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah Tuhan yang Maha Kuasa dan mudah bagi Allah subhanahu wa ta’ala untuk melakukan apapun. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat Yaasin ayat 82,

إِنَّمَآ أَمْرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيْـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.

Setelah kita yakin bahwa mudah bagi Allah untuk mewujudkan keinginan kita, maka hendaknya kita senantiasa meminta tolong kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara berdoa. Ketika kita semakin serius dan khusyu dalam berdoa, pada dasarnya itu adalah cerminan bahwa semakin kuat pula keyakinan kita bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah Tuhan yang Maha Kuasa dan Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan meolong kita. Berdoa dengan khusyu juga merupakan wujud pelaksanaan perintah Allah subhanahu wa ta’ala di surat Al Fatihah yang setiap hari kita baca dalam shalat

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.

Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tsauban radhiyallahu ‘anhu,

مَن تَكفَّلَ لي أنْ لا يسأَلَ الناسَ شيئًا، وأتكفَّلُ له بالجَنَّةِ؟ ” فقُلتُ: أنا، فكان لا يسأَلُ أحدًا شيئًا

Siapakah yang menjamin untukku untuk tidak meminta-minta sesuatupun kepada orang lain, dan aku menjaminnya masuk Surga? Tsauban (sang perawi hadist yang mendengar langsung dari Rasulullah shallahahu ‘alayhi wa sallam) berkata; saya! Dan Tsauban tidak pernah meminta sesuatupun kepada orang lain (HR Abu Daud, An Nasai, dan Ibnu Majah)

Sebaliknya, bila seseorang kurang serius dalam berdoa, bisa jadi di dalam hatinya masih terdapat harapan yang besar kepada pertolongan makhluk, dan terkadang itu merupakan cerminan bahwa keyakinan kepada Allah subhanahu wa ta’ala sedang dalam kondisi yang tipis. Bila seseorang berharap kepada pertolongan makhluk maka bisa jadi urusannya akan sulit selesai, dan bila urusannya selesai dengan pertolongan makhluk maka harga diri orang tersebut biasanya akan jatuh karena ia pasti akan merasa berhutang budi kepada orang yang menolongnya.

Bila kita tengok Sejarah nabi Muhammad shallalahu ‘alayhi wa sallam dalam berdakwah, salah satu faktor yang memudahkan beliau shallalahu ‘alayhi wa sallam dalam berdakwah dalam berdakwah adalah karena beliau shallalahu ‘alayhi wa sallam dalam berdakwah mendiri sejak sebelum diutus menjadi nabi dan rasul, sehingga beliau tidak memiliki hutang budi terhadap kaum Quraiys.

Poin ketiga yang dapat kita pahami dari hadist di atas adalah Allah subhanahu wa ta’ala pasti mengabulkan doa setiap hamba-Nya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala yang dikutip oleh Rasulullah shallalhu ‘alayhi wa sallam:

وَقال رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ

 Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.”

Ketika kita meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan mengabulkan doa kita, maka tentu ketika kita menginginkan sesuatu, hendaknya hal pertama yang perlu kita ingat adalah berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, baru kemudian kita memulai usaha. Ketika kita mengawali usaha kita dengan doa maka kita akan merasa tenang dalam menempuh usaha karena kita yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan mengabulkan doa kita. Bila ternyata usaha kita belum menampakkan hasil, kita hendaknya terus berdoa dan juga terus berusaha. Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

لا يَزَالُ يُسْتَجَابُ للعبدِ ما لم يَدْعُ بإثمٍ أو قَطِيعةِ رَحِمٍ ، ما لم يَسْتَعْجِلْ ، يقولُ : قد دَعَوْتُ وقد دَعَوْتُ فلم يُسْتَجَبْ لي ، فيَسْتَحْسِرُ عند ذلك ، ويَدَعُ الدعاءَ

Do’a seorang hamba akan selalu dikabulkan selagi tidak memohon sesuatu yang berdosa atau pemutusan kerabat, atau tidak tergesa-gesa. Mereka bertanya : Apa yang dimaksud tergesa-gesa? Beliau menjawab,” dia berkata ; saya berdoa berkali-kali tidak dikabulkan, lalu dia merasa menyesal kemudian meninggalkan doa”(HR Bukhari dan Muslim)

Dari hadits tersebut, kita dapat memahami bahwa kita diperintahkan untuk senantiasa berdoa hingga Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa kita.

Doa memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

ليسَ شيءٌ أكرمَ علَى اللهِ من الدُّعاءِ

Tidak ada sesuatu yang paling mulia di sisi Allah daripada doa (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Saking mulianya doa di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, para sahabat senantiasa berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk urusan yang mungkin di sisi manusia sangat remeh. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

 سَلُوا اللَّهَ كُلَّ شَيءٍ حَتَّى الشِّسعَ ، فَإِنَّ اللَّهَ إِن لَمْ يُيَسِّرهُ لَمْ يَتَيَسَّرْ

Berdoalah kepada Allah, bahkan dalam urusan tali sandal. Bila Allah tidak membuatnya mudah maka urusan tersebut tidak akan jadi mudah.

Hal ini selaras dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallahu ‘alayhi wa sallam,

اللَّهمَّ لا سَهلَ إلَّا ما جَعَلتَه سَهلًا، وأنتَ تَجعَلُ الحَزْنَ إذا شِئتَ سَهلًا

Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki pasti akan menjadi mudah. (HR Ibnu Hibban dan Al Baihaqi)

Setelah kita mengetahui pentingnya peran doa dalam kehidupan sehari-hari, marilah kita senantiasa mengawali aktivitas yang akan kita lakukan dengan berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Ketiga: Senantiasa bertawakkal kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat Ath-Thalaq ayat 2:

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

Makna tawakkal secara sederhana adalah menyandarkan hati kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kita perlu pahami bahwa makna tawakkal itu bukan berarti meninggalkan usaha secara total. Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

قال رجُلٌ لِلنَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : أُرسِلُ ناقتي وأتوكَّلُ ؟ قال : ( اعقِلْها وتوكَّلْ )

Seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ikatlah kemudian bertawakkallah (HR Ibnu Hibban)

Atau dengan kata lain, tawakkal adalah menghadirkan keyakinan dalam hati bahwa Allah subhanahu wa ta’ala lah yang memudahkan kita dalam berusaha. Misalkan ketika kita bekerja kita berhasil melampaui target, maka tawakkal dalam hati akan mendorong kita untuk meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang memudahkan kita untuk melampaui target. Kita tidak menyandarkan prestasi yang kita capai kepada kehebatan diri kita. Menyandarkan prestasi kepada kemampuan diri merupakan dosa dan bisa berakibat fatal. Ketika seseorang menyandarkan ketenangan kepada kemampuan diri, sungguh mudah bagi Allah subhanahu wa ta’ala untuk megambil sumber ketenangan tersebut dari hamba-Nya. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam,

فأمّا المهلِكاتُ : فشُحٌّ مُطاعٌ ، وهَوًى مُتَّبَعٌ ، وإِعجابُ المرْءِ بنفْسِهِ

(Tiga hal) yang membawa pada jurang kebinasaan: (1) tamak lagi kikir, (2) mengikuti hawa nafsu (yang selalu mengajak pada kejelekan), dan ujub (bangga pada diri sendiri). (HR Thabrani)

Dari hadits tersebut Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam menjelaskan bahwa bangga terhadap diri sendiri merupakan salah satu sumber kebinasaan. Oleh karena itu, marilah kita melatih hati kita untuk senantiasa menghadirkan keyakinan bahwa dalam seluruh aktivitas kita, kita tidak lepas dari pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.

Keempat: Senantiasa bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Setelah kita yakin bahwa seluruh aktivitas kita tidak lepas dari pertolongan Allah, maka akan mudah bagi kita untuk senantiasa bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bersyukur merupakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat Al Baqarah ayat 152:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.

Allah subhanahu wa ta’ala juga befirman di surat Ibrahim ayat 7,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”

Ketika kita bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menambah karunia-Nya kepada kita. Keutamaan bersyukur tenyata tidak hanya sebatas bertambahnya karunia Allah kepda kita, namun lebih dari itu. Ternyata bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala merupakan salah satu sebab kita mendapatkan ridha Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala di surat Az Zumar ayat 7:

وَإِن تَشْكُرُوا۟ يَرْضَهُ لَكُمْ

Jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu

Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda,

إنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ العَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا، أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا

Sesungguhnya Allah Ta’ala ridha kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum (HR Muslim)

Setelah kita mengetahui bahwa bersyukur merupakan salah satu cara untuk meraih Ridha Allah subhanahu wa ta’ala, maka marilah hendaknya kita senantiasa bersyukur bahkan untuk segala urusan bahkan hingga urusan yang mungkin di mata sebagian besar orang itu merupakan hal remeh, seperti makan dan minum. Pada dasarnya tidak ada yang remeh di dunia ini. Sebagaimana yang kita bahas sebelumnya, semua hal menjadi mudah karena Allah subhanahu wa ta’ala membuatnya mudah. Dan mudah bagi Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengambil kembali semua kemudahan yang kita rasakan.

Sebagai penutup, mari kita simak kisah nabi Zakariya as ketika memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar dikaruniai keturunan. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan kisah tersebut di surat Maryam ayat 4 – 6:

قَالَ رَبِّ اِنِّيْ وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّيْ وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَّلَمْ اَكُنْۢ بِدُعَاۤىِٕكَ رَبِّ شَقِيًّا وَاِنِّيْ خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَّرَاۤءِيْ وَكَانَتِ امْرَاَتِيْ عَاقِرًا فَهَبْ لِيْ مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّا ۙ يَّرِثُنِيْ وَيَرِثُ مِنْ اٰلِ يَعْقُوْبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا

Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah, kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai Tuhanku. (4) Sesungguhnya aku khawatir terhadap keluargaku sepeninggalku, sedangkan istriku adalah seorang yang mandul. Anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu. (5) (Seorang anak) yang akan mewarisi aku dan keluarga Ya‘qub serta jadikanlah dia, wahai Tuhanku, seorang yang diridai.”(6)

Di ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan bahwa pada saat itu nabi Zakariya as sudah tua. Istri beliau pun juga dalam kacamata manusia sudah tidak bisa lagi mengandung. Namun ternyata nabi Zakariya alayhissalaam terus berdoa dan akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala kabulkan setelah sekian lama beliau ‘alayhissalaam memohon keturunan.

Kisah nabi Zakariya dalam berdoa hendaknya mendorong kita untuk terus berdoa selama kita masih mampu untuk berdoa. Tidak ada yang sulit bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala bisa menimbulkan akibat tanpa sebab. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala bisa membuat Maryam mengandung tanpa memiliki suami. Atau Allah subhanahu wa ta’ala membuat api menjadi dingin ketika membakar nabi Ibrahim as. Intinya tidak ada yang mustahil bagi Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala yang tadi telah kita sebutkan:

إِنَّمَآ أَمْرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيْـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.

Oleh karena itu, marilah kita senantiasa berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan latih hati kita agar tidak bergantung kepada pertolongan makhluk, melainkan kita sandarkan segala sesuatu kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Muflih A. Adnan

504 Jackson Pl

Calgary, AB

Canada

Sabtu, 11 November 2023 pukul 06.49 pm

Kembali Kepada Allah

Kembali Kepada Allah

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat Az Zumar ayat 53:

قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Allah subhanahu wa ta’ala melanjutkan firman-Nya di surat Az Zumar ayat 54.

وَأَنِيبُوٓا۟ إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا۟ لَهُۥ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ ٱلْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ

Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).

Ayat tersebut merupakan seruan Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang sering bermaksiat agar segera kembali memohon ampunan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk segera memohon ampun agar hamba tersebut bisa memohon ampun sebelum sampai pada titik di mana sudah tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat, yaitu saat ajal sudah datang. Bila seorang hamba bertaubat sebelum ajal menjemput, maka Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan mengampuni hamba tersebut. Namun, bila nyawa seorang hamba sudah berada kerongkongan, maka sudah tidak ada lagi kesempatan untuk memohon ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat An Nisa ayat 19,

وَلَيْسَتِ ٱلتَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ حَتَّىٰٓ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ ٱلْمَوْتُ قَالَ إِنِّى تُبْتُ ٱلْـَٰٔنَ وَلَا ٱلَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.

Sebagaimana yang tadi telah disebutkan, firman Allah subhanahu wa ta’ala di surat Az Zumar adalah seruan khusus untuk pelaku maksiat. Pertanyaannya adalah apakah ayat tersebut juga merupakan seruan untuk kita?

Bila kita mengamati dengan seksama kondisi kehidupan sehari-hari yang kita jalani, kemungkinan besar ayat tersebut juga berlaku bagi kita. Zaman sekarang sangat sulit menjaga diri agar selalu bersih dari maksiat. Meski kita tidak menyebutkan contohnya di sini, namun kita sama-sama tahu bahwa tidak ada satu hari pun di mana kita tidak bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

كلُّ بني آدم خَطَّاءٌ، وخيرُ الخَطَّائِينَ التوابون

Setiap anak Adam pasti banyak berbuat dosa, dan sebaik-baik yang berbuat dosa adalah yang segera bertaubat (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimy)

Perlu kita ingat bahwa dampak buruk maksiat yang kita lakukan bukan hanya akan kita rasakan di akhirat, namun dampak buruk tersebut akan Allah berikan kepada kita ketika kita masih berada di dunia ini, bila kita tidak bertaubat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat An Nisa ayat 79:

وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ

Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri

Allah juga befirman di surat Al Ankabut ayat 40:

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنۢبِهِۦ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ ٱلصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ ٱلْأَرْضَ وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.

Dari dua ayat tersebut, kita hendaknya semakin sadar bahwa setiap keburukan, musibah, masalah hidup, bencana alam dan semua hal yang membuat kita merasa tidak tenang dalam menjalani kehidupan ini bisa jadi merupakan dampak dari maksiat yang kita lakukan.

Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa terlindungi dari dampak buruk maksiat tersebut?

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat Nuh ayat 10-12:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ﴿١٠﴾ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا ﴿١١﴾ وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا ﴿١٢﴾

Aku berkata, ‘istighfar kalian, minta ampun kalian kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Allah akan kirimkan kepada kalian hujan yang lebat dan Allah akan berikan kepada kalian harta dan anak-anak dan Allah akan jadikan untuk kalian kebun-kebun dan sungai-sungai yang mengalir.’”

Ayat tersebut merupakan kabar gembira bagi kita semua. Kita semua sadar bahwa sangat sulit untuk hidup bersih dari maksiat, terutama di zaman sekarang ini. Meski kita belum bisa bersih dari maksiat atau kita belum bisa meninggalkan maksiat sepenuhnya, Allah subhanahu wa ta’ala masih memberi kesempatan kepada kita agar bisa terlindungi dari dampak buruk maksiat, yaitu dengan senantiasa beristighfar.

Ketika kita memohon ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala, ada dua hal penting yang perlu kita pahami bersama: pertama adalah istighfar dan yang kedua adalah taubat. Sebagian ulama menyimpulkan bahwa istighfar dan taubat merupakan dua hal yang berbeda. Kesimpulan tersebut dilandaskan kepada hadits yang diriwayatkan dari ummul mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُكْثِرُ مِن قَوْلِ: سُبْحَانَ اللهِ وبِحَمْدِهِ أسْتَغْفِرُ اللَّهَ وأَتُوبُ إلَيْهِ

Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam memperbanyak bacaan, “Maha Suci Allah dan aku memuji-Nya, aku memohon ampun (beristighfar) kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya” (HR Muslim)

Pada hadits tersebut, Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam memisahkan kalimat istighfar dan taubat. Oleh karena itu kita bisa memahami bahwa istighfar dan taubat merupakan dua hal yang berbeda.

Secara umum, istighfar merupakan permohonan kepada Allah agar kita diampuni dan dilindungi dari dampak buruk maksiat meski kita masih belum bisa meninggalkan maksiat tersebut. Sedangkan taubat merupakan permohonan ampun yang disertai dengan penyesalan dan meninggalkan secara total maksiat tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat At Tahrim ayat 8,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya)

Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al Quran Al ‘Adhim menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan taubat adalah permohonan ampun yang disertai dengan penyesalan, tidak akan mengulanginya lagi dan bila maksiat tersebut berkaitan dengan hak manusia, maka urusannya harus diselesaikan terlebih dahulu.

Bila kita cermati penjelasan Ibnu Katsir, taubat membutuhkan usaha yang lebih serius dibanding istighfar. Terlebih lagi bila maksiat yang kita lakukan ternyata berkaitan dengan hak orang lain, maka perlu lebih lama lagi untuk bisa memenuhi syarat taubat. Sembari berusaha meninggalkan maksiat dan menyelesaikan hak orang lain, kita diberi fasilitas oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk beristighfar. Semoga dengan terus beristighfar, kita senantiasa dilindungi oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari dampak buruk maksiat yang masih belum bisa kita tinggalkan.

Untuk semakin memperjelas perbedaan antara istighfar dan taubat, mari kita ambil satu contoh lain. Misalkan ada seseorang sudah terbiasa minum khamr. Setelah masuk Islam, pada awalnya sulit bagi dia untuk meninggalkan kebiasaan tersebut. Sembari ia berusaha menghilangkan kebiasaan maksiat tersebut, ia bisa senantiasa beristighfar. Setiap kali ia selesai minum khamr dan sadar atas perbuatan dosanya, ia langsung beristighfar dan berusaha agar tidak mengulanginya lagi. Nanti pada titik dimana ia sudah tidak minum khamr lagi, maka baru bisa disebut ia bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya. Dan bila seorang hamba telah bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya, telah memenuhi seluruh syarat taubat, maka Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan mengampuni hamba tersebut.

Meskipun istighfar tidak mengharuskan kita meninggalkan kemaksiatan, kita perlu ingat bahwa sebaiknya kita berusaha meninggalkan maksiat secepat mungkin sebab kita tidak tahu kapan ajal menjemput kita. Jangan sampai kita wafat dalam kondisi bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mungkin Sebagian orang berpikir bahwa ketika ia wafat ia akan menyebut laa ilaaha illallah sebelum ajal tiba karena ada jaminan surga. Pernyataan bahwa laa ilaaha illallah memberikan jaminan surga memang benar, Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

من كان آخرُ كلامهِ لا إلهَ إلَّا اللهُ دخل الجنَّةَ

Barangsiapa yang akhir perkataannya adalah ‘laa ilaha illallah’, maka dia akan masuk surga (HR Abu Daud dan Ahmad)

Namun siapa diantara kita yang bisa menjamin bahwa kita akan bisa mengucapkan kalimat tersebut saat wafat? Kalimat laa ilaaha illallah yang diucapkan ketika menjelang wafat merupakan kalimat yang datang dari dalam hati. Dan kita tahu bahwa hati kita terkadang berkhianat kepada kita. Sebagai contoh kecil, misalkan satu jam lagi kita akan menunaikan shalat duhur. Saat ini kita berencana bahwa nanti ketika shalat, kita berencana untuk shalat dengan khusyu. Namun kenyataannya terkadang hati kita berkhianat kepada kita dan akhirnya kita tidak khusyu dalam shalat. Dalam hal shalat yang kita tahu kapan waktunya saja hati terkadang berkhianat, apalagi dalam urusan sakaratul maut yang mana kita tidak tahu kapan itu akan datang kepada kita.

Sebenarnya seringnya hati berkhianat kepada kita, termasuk berkhianat saat kita ajak hati kita untuk khusyu dalam shalat, juga merupakan salah satu akibat buruk dari kemaksiatan yang kita lakukan. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak merutinkan istighfar dan untuk tidak segera segera bertaubat dengan meninggalkan maksiat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat Ali Imran ayat 135:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Dari ayat di atas, kita juga bisa memahami bahwa Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan mengampuni hamba-Nya yang memohon ampun dengan disertai meninggalkan kemaksiatan. Ada banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah Tuhan yang Maha Pengampun. Diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala di surat Asy Syura ayat 30:

وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman dalam hadist qudsi,

يا عِبَادِي، إنَّكُمْ تُخْطِئُونَ باللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا، فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa di waktu siang dan malam, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian (HR Muslim)

Mari kita senantisa menjaga diri kita dari kemaksiatan karena kemaksiatan menjerumuskan kita ke dalam kebinasaan sejak kita berada di dunia ini. Mari kita tingkatkan kepekaan kita terhadap terhadap kehidupan kita. Bila kita merasa hidup kita menjadi semakin sulit dan sesak, bisa jadi ini merupakan peringatan dari Allah subhanahu wa ta’ala atas maksiat yang telah kita lakukan. Ketika kita mendapatkan peringatan tersebut hendaknya kita langsung melakukan instropeksi diri, memperbanyak istighfar dan meninggalkan kemaksiatan yang sedang kita lakukan agar kehidupan kita tidak semakin terpuruk. Ada dua bacaan istighfar yang dicontohkan oleh Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam yang bisa kita rutinkan,

Pertama:

سُبْحَانَ اللهِ وبِحَمْدِهِ أسْتَغْفِرُ اللَّهَ وأَتُوبُ إلَيْهِ

Maha Suci Allah dan aku memuji-Nya, aku memohon ampun (beristighfar) kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya” (HR Muslim)

Kedua:

اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

Ya Allah, Engkau adalah Rabbku, tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau).” (HR. Bukhari)

Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam menjelaskan keutamaan hadits di atas, beliau shallalahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

ومَن قالَها مِنَ النَّهارِ مُوقِنًا بها، فَماتَ مِن يَومِهِ قَبْلَ أنْ يُمْسِيَ، فَهو مِن أهْلِ الجَنَّةِ، ومَن قالَها مِنَ اللَّيْلِ وهو مُوقِنٌ بها، فَماتَ قَبْلَ أنْ يُصْبِحَ، فَهو مِن أهْلِ الجَنَّةِ

Barangsiapa mengucapkannya pada siang hari dan meyakininya, lalu dia mati pada hari itu sebelum waktu sore, maka dia termasuk penghuni surga. Dan barangsiapa mengucapkannya pada malam hari dalam keadaan meyakininya, lalu dia mati sebelum waktu pagi, maka dia termasuk penghuni surga (HR. Bukhari).

Sebagai penutup, mari kita simak hadist yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallalahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

لَلَّهُ أفْرَحُ بتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِن رَجُلٍ نَزَلَ مَنْزِلًا وبِهِ مَهْلَكَةٌ، ومعهُ راحِلَتُهُ، عليها طَعامُهُ وشَرابُهُ، فَوَضَعَ رَأْسَهُ فَنامَ نَوْمَةً، فاسْتَيْقَظَ وقدْ ذَهَبَتْ راحِلَتُهُ، حتَّى إذا اشْتَدَّ عليه الحَرُّ والعَطَشُ أوْ ما شاءَ اللَّهُ، قالَ: أرْجِعُ إلى مَكانِي، فَرَجَعَ فَنامَ نَوْمَةً، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ، فإذا راحِلَتُهُ عِنْدَهُ

“Sesungguhnya Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya dibanding kegembiraan seseorang yang berkemah di padang pasir yang gersang dan tanpa kehidupan, di atas tunggangannya ada makanan dan minuman sebagai perbekalannya, kemudian ia menyenderkan kepalanya dan akhirnya ia tertidur. Ketika ia terbangun ternyata tunggangannya telah pergi. Sampai akhirnya ia merasa kepanasan dan kehausan yang amat sangat dahsyat, atau (kepayahan lain) yang dikehendaki oleh Allah. Orang tersebut berkata, “Aku akan kembali ke tempat semula di mana aku tidur, lalu aku akan tidur lagi di sana (untuk menunggu kematian datang menjemputnya). Kemudian (saat ia terbangung) ia mengangkat kepalanya dan melihat tunggangan tersebut sudah berada di tempat semula. (HR Bukhari)

Dalam hadits riwayat Muslim (dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu), ada kalimat:

ثُمَّ قالَ مِن شِدَّةِ الفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِن شِدَّةِ الفَرَحِ

Karena sangat gembiranya, maka ia berkata, ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu.’ Ia telah salah mengucapkan karena sangat gembiranya.” (HR. Muslim).

Setidaknya ada dua poin yang bisa kita ambil dari hadist tersebut,

Pertama: hadits di atas menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala sangat gembira ketika hamba-Nya bertaubat.

Kedua: ketika seseorang merasa aman dengan sebab duniawi, maka Allah subhanahu wa ta’ala bisa jadi akan membinasakannya dengan sebab tersebut. Dalam hadist tersebut dikisahkan ada orang yang merasa aman berjalan di padang pasir yang mematikan karena ia menaiki tunggangan beserta bekal makanan dan minuman sehingga ia pun dapat tidur dengan tenang. Namun apa yang terjadi? Allah subhanahu wa ta’ala buat tunggangan beserta bekalnya hilang. Setelah ia menyadari kesalahannya, barulah Allah subhanahu wa ta’ala kembalikan tunggangan dan perbekalannya. Oleh karena itu, jangan sampai kita ketenangan hidup kita di dunia semata-mata kita sandarkan dengan gaji stabil yang kita miliki atau pola hidup sehat yang selalu kita jaga. Hendaknya kita menyandarkan ketenangan hidup kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan meyakini bahwa ketenangan hidup semata-mata adalah karunia Allah subhanahu wa ta’ala. Kita mengakui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala lah yang memudahkan kita mencapai kinerja maksimal sehingga kita mendapatkan gaji yang stabil. Allah juga yang memudahkan kita untuk dapat menahan diri dari pola hidup yang kurang sehat sehingga kita merasa bugar. Menyandarkan ketenangan kepada sebab duniawi juga merupakan perbuatan maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan bisa jadi Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan musibah dengan bentuk mencabut sebab duniawi tersebut.

Muflih A. Adnan

504 Jackson Pl

Calgary, AB

Canada

Ahad, 8 Oktober 2023 pukul 10.17 pm

Mengingat Nikmat dari Allah

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat An Nahl ayat 18:

وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dari ayat tersebut, paling tidak ada dua hal mendasar yang bisa kita pahami, yaitu (1)nikmat yang kita terima merupakan karunia Allah subhanahu wa ta’ala, dan (2) nikmat yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada kita sangatlah banyak, dan pasti kita tidak akan bisa menghitungnya.

Sebagai seorang yang beriman kita perlu ingat bahwa semua yang ada pada diri kita merupakan karunia Allah subhanahu wa ta’ala. Kita tidak memiliki sedikitpun bagian dari apa yang ada pada diri kita. Rumah yang kita tempati, kesehatan yang kita rasakan, ketenangan dalam diri, makanan yan kita makan, dan nominal angka yang ada pada akun bank kita, dan banyak lagi nikmat yang tentu tidak bisa kita sebutkan satu persatu, itu semua merupakan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala. Nikmat-nimat tersebut ada pada diri kita, bisa kita gunakan dan kita manfaatkan karena nikmat tersebut sedang Allah subhanahu wa ta’ala titipkan kepada kita.  Ketika kita senantiasa mengingat dan memahami betul bahwa seluruh nikmat yang ada pada diri kita merupakan titipan dari Allah subhanahu wa ta’ala, maka tentu kita akan sangat berhati-hati dalam mengelola nikmat tersebut. Setidaknya ada tiga hal yang akan terus kita ingat ketika kita yakin bahwa semua nikmat merupakan titipan Allah subhanahu wa ta’ala:

Pertama: Pembagian nikmat merupakan hak perogratif Allah subhanahu wa ta’ala.

Sebagaimana halnya barang titipan, sang pemilik barang memiliki hak penuh dalam menentukan siapa yang akan dititipi barang tersebut. Dalam hal nikmat, Allah subhanahu wa ta’ala memiliki hak penuh dalam menentukan siapa yang akan dititipi nikmat banyak dan siapa yang akan dititipi nikmat sedikit. Hal ini banyak ditekankan oleh Allah dalam beberapa ayat, diantaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala di surat Al Ankabut ayat 62:

ٱللَّهُ يَبْسُطُ ٱلرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ وَيَقْدِرُ لَهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَٱللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ فِى ٱلرِّزْقِ ۚ

Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki (QS An Nahl : 71).

Allah juga befirman:

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat bekerjasama dengan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS Az Zukhruf : 32)

Ketika kita sadar bahwa pembagian nikmat merupakan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, maka ketika Allah titipkan kepada kita nikmat yang banyak maka jangan sampai kita merasa bangga atas nikmat tersebut. Jangan sampai kita merasa bahwa nikmat tersebut adalah murni atas usaha kita. Jadi misalkan kita sejak kecil hidup susah, makan hanya satu hari sekali itu pun harus berbagi dengan saudara dan orang tua, dan tidur hanya beralaskan tikar di bangunan sempit yang bocor bila hujan, lalu seiring berjalannya waktu kita akhirnya berhasil keluar dari kesulitan tersebut, jangan sampai kita merasa bahwa seluruh pencapaian ini adalah murni hasil jerih payah kita. Kita harus selalu ingat bahwa semua pencapaian tersebut adalah karunia Allah. Bila kita merasa bahwa keberhasilannya adalah murni atas jerih payah kita, maka kita sama dengan orang yang Allah subhanahu wa ta’ala ilustrasikan di surat Hud ayat 10:

وَلَئِنْ أَذَقْنَٰهُ نَعْمَآءَ بَعْدَ ضَرَّآءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ ذَهَبَ ٱلسَّيِّـَٔاتُ عَنِّىٓ ۚ إِنَّهُۥ لَفَرِحٌ فَخُورٌ

Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: “Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku”; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga.

Di zaman dahulu ada orang yang memiliki sifat tersebut dan Allah subhanahu wa ta’ala tenggelamkan dia beserta hartanya. Nama orang tersebut adalah Qarun. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat Al Qashash ayat 76:

إِنَّ قَٰرُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَىٰ فَبَغَىٰ عَلَيْهِمْ ۖ وَءَاتَيْنَٰهُ مِنَ ٱلْكُنُوزِ مَآ إِنَّ مَفَاتِحَهُۥ لَتَنُوٓأُ بِٱلْعُصْبَةِ أُو۟لِى ٱلْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُۥ قَوْمُهُۥ لَا تَفْرَحْ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْفَرِحِينَ

Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri”.

Satu kalimat Qarun yang Allah abadikan di dalam Al Quran adalah:

قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِىٓ

Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padauk (QS Al Qashash : 78)

Kita juga tidak boleh merasa lebih baik dibanding orang lain karena nikmat yang ada pada diri kita lebih banyak dibanding orang lain. Bila hal tersebut terjadi, maka pada dasarnya kita telah terjangkiti penyakit yang mana karena penyakit itu iblis dimasukkan ke dalam neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat Al A’raf ayat 12:

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ

Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”.

Di ayat tersebut Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan bahwa Iblis tidak bersedia diperintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk sujud kepada Adam karena iblis merasa ia lebih mulia dari Adam. Iblis mengukur kemuliaan seseorang dari sisi materi bahan dasar penciptaan dan itu merupakan hal yang keliru karena pada dasarnya kemuliaan itu tidak diukur berdasar materi, melainkan berdasar ketaqwaan sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala di surat Al Hujarat ayat 13:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.

Lalu bagaimana bila Allah hanya menitipkan nikmat yang sedikit kepada kita?

Bila kita berada di posisi ini maka pertama-tama kita perlu pahami bahwa semua hal yang Allah tentukan untuk kita, itulah yang terbaik bagi kita, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala di surat Al Ankabut ayat 62:

ٱللَّهُ يَبْسُطُ ٱلرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ وَيَقْدِرُ لَهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Allah melapangkan dan menyempitkan rezeki dan Allah maha mengetahui segala sesuatu. Kita perlu sadari bahwa ilmu yang kita miliki sangat terbatas sedangkan ilmu Allah itu luas. Allah mengetahui kadar nikmat yang tepat untuk kita. Bisa jadi bila Allah titipkan nikmat yang banyak, maka kita akan tergelincir dan gagal mengemban titipan tersebut sehingga kita tidak mendapatkan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala dan akhirnya bukan golongan penghuni surga. Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman di surat Asy Syura ayat 27:

وَلَوْ بَسَطَ ٱللَّهُ ٱلرِّزْقَ لِعِبَادِهِۦ لَبَغَوْا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَآءُ ۚ إِنَّهُۥ بِعِبَادِهِۦ خَبِيرٌۢ بَصِيرٌ

Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.

Berikutnya kita perlu ingat juga bahwa kehidupan di akhirat lebih baik dibanding kehidupan di dunia. Ketika kita menjadikan akhirat sebagai target utama, maka sedikitnya nikmat yang Allah titipkan kepada kita di dunia tidak akan begitu terasa berat bagi kita. Mari kita ingat kembali firman Allah subhanahu wa ta’ala di surat Az Zukhruf ayat 32:

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat bekerjasama dengan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.

Di ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menekankan di akhir ayat bahwa rahmat Allah subhanahu wa ta’ala lebih baik dibanding nikmat yang ada di dunia.

Berikutnya, kita perlu pahami juga bahwa nikmat di dunia pasti bercampur dengan keburukan. Dalam hal ini, Allah subhanahu wa ta’ala memberikan contoh yang sangat jelas dalam kisah nabi Yusuf as di surat Yusuf ayat 32–33:

قَالَتْ فَذَٰلِكُنَّ ٱلَّذِى لُمْتُنَّنِى فِيهِ ۖ وَلَقَدْ رَٰوَدتُّهُۥ عَن نَّفْسِهِۦ فَٱسْتَعْصَمَ ۖ وَلَئِن لَّمْ يَفْعَلْ مَآ ءَامُرُهُۥ لَيُسْجَنَنَّ وَلَيَكُونًا مِّنَ ٱلصَّٰغِرِينَ

Wanita itu berkata: “Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina”.

قَالَ رَبِّ ٱلسِّجْنُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِمَّا يَدْعُونَنِىٓ إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّى كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ ٱلْجَٰهِلِينَ

Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh”.

Dari ayat di tersebut kita bisa mengambil pelajaran bahwa kenikmatan duniawi, dalam hal ini ketampanan yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada nabi Yusuf as, mengandung ujian dan menyebabkan nabi Yusuf as masuk ke dalam penjara. Bisa kita bayangkan bila nabi Yusuf as tidak dikaruniai Allah subhanahu wa ta’ala ketampanan, maka bisa jadi nabi Yusuf as tidak masuk ke dalam penjara.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam juga mengingatkan kita tentang dampak buruk nikmat dunia, beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

فَوَاللهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا، فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

Maka demi Allah! Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian. Akan tetapi aku khawatir akan dibentangkan dunia atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian pun berlomba-lomba padanya sebagaimana mereka berlomba-lomba padanya. Kemudian dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka. (HR Bukhari dan Muslim)

Kedua: Titipan merupakan amanah.

Ketika kita menerima titipan, maka kita hendaknya menjalankan amanah dari pihak yang telah menitipkannya kepada kita. Bila tadi sebelumnya kita telah membahas bahwa maksiat dapat mengurangi nikmat, maka bersikap amanah terhadap nikmat dapat berakibat pada ditambahnya nikmat. Sama halnya ketika kita bertemu dengan orang yang bersikap amanah, maka kita tidak khawatir menitipkan lebih banyak lagi barang kepada orang tersebut. Sebagai contoh, ketika Allah subhanahu wa ta’ala menitipkan harta kepada kita, maka ada banyak sekali amanah yang berkaitan dengan harta yang perlu kita tunaikan seperti zakat dan haji.

Misalkan harta yang ada pada diri kita sudah sampai satu nishab selama satu haul, maka kita mendapatkan amanah dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengeluarkan sebagian harta tersebut sesuai dengan ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu diberikan kepada delapan golongan yang Allah subhanahu wa ta’ala jelaskan di surat At Taubah ayat 60.

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْعَٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ketika kita menjalankannya, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menambah Amanah tersebut, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala di surat Al Baqarah ayat 261:

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍ ۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda,

ما نقصت صدقةٌ من مالٍ ، وما زاد اللهُ عبدًا بعفوٍ إلا عزًّا ، وما تواضع عبدٌ إلا رفعه اللهُ

Bersedekah tidak mengurangi hamba, tidaklah seseorang memaafkan kecuali Allah tambah kemuliaannya, dan tidaklah seseorang tawadhu’ kecuali Allah angkat derajatnya (HR. Muslim)

Sebaliknya, bila ternyata kita sudah mendapatkan amanah dari Allah untuk berzakat namun kita enggan mengeluarkannya, maka bisa jadi Allah angkat nikmat harta dari diri kita. Bisa jadi dari sisi kuantitas hartakita tidak berkurang, tapi Allah mengurangi keberkahan harta tersebut. Harta tersebut bukannya membuat kita hidup tenang, tapi malah membuat hidup kita semakin sengsara. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

أنْفِقِي، أوِ انْضَحِي، أوِ انْفَحِي، ولا تُحْصِي، فيُحْصِيَ اللَّهُ عَلَيْكِ

Infaqkanlah hartamu, janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau mengeluarkan zakat dan sedekah). Jika tidak, maka Allah akan perhitungan terhadap dirimu (menahan atau mengurangi keberkahan rezeki tersebut) (HR Muslim)

Oleh karena itu, mari kita senantiasa sadar dan mengingat bahwa nikmat adalah titipan dan yang namanya titipan tentu tidak lepas dari tanggung jawab.

Ketiga: Sebagaimana kita tahu bahwa nikmat adalah titipan, maka kita perlu sadar bahwa titipan bisa diambil kapan pun dan di mana pun oleh yang memiliki.

Kita sebagai pihak yang dititipi tentu tidak akan bisa menolak ketika titipan diminta kembali oleh yang punya. Sebagai seorang yang beriman, kita tentu sangat yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bisa dengan mudah mengambil nikmat yang ada pada diri kita. Banyak sekali contoh yang Allah subhanahu wa ta’ala paparkan kepada kita tentang mudahnya Allah subhanahu wa ta’ala mencabut nikmat, seperti yang kita lihat belum lama ini, Allah mencabut nikmat kesehatan dan rasa aman dengan adanya wabah penyakit COVID-19.

Perlu kita ingat bahwa meski Allah subhanahu wa ta’ala bisa dengan mudah mencabut nikmat tersebut dari seorang hamba, Allah merupakan rabb kita yang Maha Bijaksana yang tidak mungkin mendzalimi hamba-Nya, Allah juga tidak mengingkari janji, termasuk tidak akan mengingkari aturan-aturan yang telah Allah subhanahu wa ta’ala buat untuk kita. Dalam hal nikmat, Allah subhanahu wa ta’ala berjanji bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan mencabut nikmat dari seorang hamba kecuali hamba tersebutlah yang menyebabkan nikmat dicabut darinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di surat Al Anfal ayat 53:

ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Lalu, prilaku apa yang menyebabkan Allah subhanahu wa ta’ala mencabut nikmatnya? Jawabannya ada di surat Asy Syra ayat 30, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).

Salah satu sebab Allah subhanahu wa ta’ala mengurangi nikmat seorang hamba adalah karena hamba tersebut bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, atau dengan kata lain tidak amanah atas nikmat yang telah Allah titipkan.

Sebagai penutup, mari kita simak kisah berikut ini. Kisah ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, dishahihkan oleh Ibnu Katsir, Ibnu Qayyim, Ibnu Hisyam dan Al Albani:

Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam sedang bersiap untuk berangkat menuju Tabuk. Kondisi saat itu sangat sulit, selain karena lokasi Tabuk jauh dari Madinah, persediaan makanan juga sangat terbatas. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam memberikan syarat bahwa siapapun yang ingin berangkat ke Tabuk harus punya tunggangan.

Salah satu sahabat bernama ‘Ulba bin Zaid merupakan orang yang tidak punya harta dan tidak punya tunggangan. Saat beliau radhiyallahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pun juga tidak punya persediaan bekal dan tunggangan. Setelah bertemu Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam beliau dengan sedih hati pulang menuju tempat tinggal beliau.

Pada malam hari beliau bangun lalu shalat dan mengadukan nasib beliau kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan beliau serba kekurangan sehingga tidak diizinkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berangkat ke Tabuk. Ketika mengadu kepada Allah subhanahu wa ta’ala beliau berkata,“ Ya Allah, engkau mewajibkan jihad dan aku mencintainya, akan tetapi aku tidak bisa berangkat karena Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak punya lagi perbekalan untukku, dan utusan-Mu shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak juga punya tunggangan yang bisa mengantarkanku ke Tabuk. Oleh karen itu, aku bersedekah dengan memaafkan seluruh kaum muslimin yang mendzalimiku baik dari sisi materi, badan maupun kehormatanku.

Pagi harinya saat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berkumpul dengan para sahabat, beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, ”Siapakah yang tadi malam bersedekah?” Tidak ada seorangpun yang berdiri. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mengulanginya lagi, ”Siapakah yang tadi malam bersedekah?” Akhirnya ‘Ulba bin Zaid berdiri dan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, ”Aku punya kabar gembira untukmu, demi Allah zakatmu telah diterima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.”

Kisah ini merupakan kabar gembira juga bagi kita. Sebagaimana yang kita tau bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berhak melapangkan nikmat seorang hamba, Allah juga berhak menyempitkan nikmat seorang hamba. Nikmat yang lapang atau nikmat yang sempit, keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk meraih pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Ketika Allah menitipkan nikmat yang banyak kepada seseorang maka hendaknya ia senantiasa bersikap amanah dan ia bisa memanfaatkan nikmat tersebut dengan maksimal untuk meraih Ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Ketika Allah menitipkan nikmat yang sedikit, dan itu cenderung membuat manusia untuk merendahkan dirinya, membuat sakit hati atau mendzaliminya, maka ia dapat menyaingi sedekah orang-orang muslim yang Allah lapangkan nikmatnya dengan memaafkan kedzaliman orang lain yang dilakukan kepadanya.

Muflih A. Adnan

504 Jackson Pl NW

Calgary, Alberta

Canada

4 Agustus 2023, 9.47 pm (UTC –6)

Keutamaan Bulan Dzulhijjah

Allah swt berfirman di surat At Taubah ayat 36:

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu).

Dari ayat tersebut, kita bisa mendaptkan informasi bahwa Islam memiliki kriteria tersendiri dalam menentukan waktu dan penanggalan. Dalam Islam satu tahun terdiri dari 12 bulan yang mana pergantian dari satu bulan ke bulan yang lain mengikuti pergantian fase bulan, sehingga kita mengenal istilah bulan qamariyah atau bulan hijriyah. Diantara 12 bulan tersebut, Allah swt menetapkan ada empat bulan yang termasuk bulan haram, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Rasulullah saw bersabda:

إنَّ الزَّمانَ قد استدار كهيئتِه يومَ خَلَق اللهُ السَّمواتِ والأرضَ، السَّنةُ اثنا عَشَرَ شَهرًا، منها أربعةٌ حُرُمٌ، ثلاثٌ متوالياتٌ: ذو القَعْدةِ، وذو الحِجَّةِ، والمحَرَّمُ، ورَجَبُ مُضَرَ الذي بين جُمادى وشَعبانَ

Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.(HR Bukhari dan Muslim)

Bulan haram merupakan bulan yang berbeda dibanding bulan-bulan lainnya. Secara umum, bulan haram memiliki dua makna:

  1. Bulan dilarang berperang
  2. Bulan ketika seseorang melakukan hal-hal yang haram (kemaksiatan), dosanya lebih besar dibanding bulan yang lain.

Diantara bulan-bulan haram tersebut ada bulan yang istimewa yaitu bulan Dzulhijjah. Perlu kita pahami bersama bahwa menentukan bulan mana yang tergolong bulan biasa dan bulan mana yang istimewa merupakan hak perogratif Allah swt. Sama halnya, ketika Allah swt menakdirkan seseorang lebih mulia dibanding orang yang lain. Allah swt berfirman di surat Al Qasas ayat 68:

 وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ ۗمَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ ۗ

Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.

Keistimewaan bulan Dzulhijjah banyak disampaikan oleh Rasulullah saw. Diantaranya adalah ketika Rasulullah saw menjelaskan tentang Firman Allah swt di surat Al Fajr ayat 1 s.d. 3:

وَالْفَجْرِۙ وَلَيَالٍ عَشْرٍۙ وَّالشَّفْعِ وَالْوَتْرِۙ

Demi waktu fajar, demi malam yang sepuluh, demi yang genap dan yang ganjil,

Ketika menjelaskan ayat tersebut, Rasulullah saw bersabda:

إن العشر عشر الأضحى، والوتر يوم عرفة، والشفع يوم النحر

Sesungguhnya yang dimaksud dengan 10 itu adalah 10 bulan Al Adha (bulan Dzulhijjah), dan yang dimaksud dengan “ganjil” adalah hari Arafah, dan yang dimaksud dengan “genap” adalah hari raya Idul Adha

Di lain waktu Rasulullah saw juga bersabda,

ما من أيَّامٍ العملُ الصَّالحُ فيهنَّ أحبُّ إلى اللهِ من هذه الأيَّامِ العشرِ . قالوا : يا رسولَ اللهِ ولا الجهادُ في سبيلِ اللهِ ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : ولا الجهادُ في سبيلِ اللهِ إلَّا رجل خرج بنفسِه ومالِه فلم يرجِعْ من ذلك بشيءٍ

Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun“ (HR Bukhari)

Setelah kita mengetahui definisi bulan haram dan juga keutamaan bulan Dzulhijjah maka bisa simpulkan bahwa di dalam bulan Dzulhijjah maka hendaknya kita semaksimal mungkin menahan diri dari berbuat maksiat dan di saat yang sama kita berusaha untuk senantiasa beramal shalih dan juga beribadah kepada Allah swt. Pada kali ini kita akan membahas tiga amalan yang bisa kita usahakan agar bulan Dzulhijjah kita menjadi lebih bermanfaat bagi kita baik di dunia maupun di akhirat.

1. Menunaikan ibadah haji. Allah swt berfirman di surat Ali Imran ayat 97:

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.

Dari ayat tersebut, kita pahami bahwa haji merupakan ibadah yang hukumnya wajib (fardhu ‘ain), dan tingkatan wajibnya sama seperti hukum wajibnya shalat dan wajibnya puasa di bulan Ramadhan. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw, sebagaimana sabda beliau:

بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، والحج، وصوم رمضان

Islam dibangun di atas lima: persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, naik haji, dan puasa Ramadhan

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa setiap ibadah memiliki syarat wajib. Sebagai contoh, syarat wajib puasa adalah: baligh, berakal, sehat, menetap (tidak bersafar), suci dari haid dan nifas, dan mengetahui wajibnya puasa (mengetahui sudah masuk bulan Ramadan). Bila seseorang memenuhi semua kriteria tersebut maka wajib hukumnya bagi orang tersebut untuk berpuasa. Dalam haji, syarat wajibnya adalah: baligh, berakal, merdeka (bukan budak), dan mampu secara fisik dan finansial. Ketika kita memenuhi semua kriteria tersebut, maka pada dasarnya wajib bagi kita untuk menunaikan ibadah haji.

Sudah umum beredar di tengah di masyarakat pengeritian bahwa ibadah haji merupakan panggilan dari Allah swt. Sehingga dengan alasan tersebut terkadang seseorang menunda pelaksanaan ibadah haji.

Bila kita seksama dalam membaca Al Quran, Allah swt berfirman di surat Al Hajj ayat 27:

وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ ۙ

(Wahai Ibrahim), panggillah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.

Dari ayat tersebut dapat kita pahami bahwa Allah swt telah memerintahkan nabi Ibrahim as untuk memanggil kita semua untuk menunaikan ibadah haji. Sama halnya ketika waktu Allah swt memanggil kita lewat para muadzin yang senantiasa mengumandangkan azan saat waktu shalat, dalam hal berhaji Allah swt memanggil kita untuk menunaikan ibadah haji lewat nabi Ibrahim as. Sama halnya ketika seseorang mendengar panggilan azan maka ia memiliki dua pilihan: bersegera memenuhi panggilan tersebut dengan berangkat ke masjid untuk shalat atau mengabaikan panggilan tersebut; kita juga memiliki dua pilihan dalam merespon panggilan Allah swt untuk berhaji: segera memenuhi panggilan Allah untuk berhaji dengan cara mendaftar haji dan semoga termasuk golongan orang yang disebutkan Allah swt di surat Al Hajj ayat 27, atau mengabaikan panggilan tersebut dan akhirnya termasuk golongan yang disebutkan oleh Allah swt dalam hadist qudsi berikut:

Rasulullah saw bersabda,

إنَّ اللهَ تعالى يقولُ : إنَّ عبدًا أصحَحتُ لهُ جسمَهُ ، ووسَّعتُ عليهِ في مَعيشتِهِ ، تمضي عليهِ خمسةُ أعوامٍ لا يَفِدُ إليَّ لمَحرومٌ

Sesungguhnya Allah Azaa wa jalla berfirman, “Sesungguhnya seorang hamba telah Aku sehatkan badannya, Aku luaskan rezekinya, tetapi berlalu dari lima tahun dan dia tidak menghandiri undangan-Ku (menunaikan haji), maka sungguh dia orang yang benar-benar terhalangi (dari kebaikan) (HR Abu Ya’la dan Al Baihaqi, hadist ini memenuhi kriteria haidst shahih menurut Ibnu Hibban dan Al Albani)

Oleh karena itu, bila kita sadar bahwa kita telah memenuhi semua syarat wajib haji, artinya kita tahu bahwa haji wajib bagi kita maka hendaknya kita bersegera untuk menunaikan ibadah haji. Rasulullah saw bersabda,

تَعَجَّلُوا إِلَى الْحَجِّ – يَعْنِي الْفَرِيضَةَ – فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ

Bersegeralah kalian berhaji-yaitu haji yang wajib-karena salah seorang diantara kalian tidak tahu apa yang akan menimpanya (HR Ahmad)

Tidak dipungkiri ibadah haji memerlukan usaha lebih besar dalam melaksanakannya, baik itu dari sisi fisik maupun dari sisi harta. Besarnya pahala ibadah haji tergantung besarnya kesabaran kita dalam melaksanakannya. Sabar melawan persaan cinta harta ketika mengeluarkan dana yang cukup besar untuk berhaji dan juga sabar menahan letih dan lelah saat menunaikan manasik haji. tidak pernah menyatakan, “Barang siapa yang thowafnya semakin cepat, maka pahalanya semakin besar”, atau “Barangsiapa yang semakin dekat lokasi tendanya dari tempat melontar maka pahalanya semakin besar”. Namun Rasulullah saw bersabda,

ولَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَفَقَتِكِ أوْ نَصَبكِ

Akan tetapi ganjarannya itu berdasarkan ukuran nafkahmu (biaya yang dikeluarkan) atau keletihanmu. (HR Bukhari dan Muslim).

Bila kita telah berusaha senantiasa bersabar hingga akhir manasik haji semoga kita termasuk orang yang telah menunaikan haji mabrur. Rasulullah saw bersabda,

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلَّا الْجَنَّةَ

Tunaikanlah haji dan umrah secara silih berganti, karena haji dan umrah itu bisa menghilangkan kefakiran dan juga bisa menghilangkan dosa-dosa sebagaimana alat tiup pandai besi untuk menghilangkan kotoran besi/karat besi, emas, dan perak (HR Tirmidzi dan Nasa’i)

2. Berpuasa. Bagi kita yang ternyata belum Allah swt takdirkan untuk berhaji, Allah swt memberikan alternatif ibadah lain yang bisa kita lakukan di bulan Dzulhijjah. Diantara ibadah tersebut adalah puasa. Ibadah puasa merupakan salah satu ibadah yang mulia di sisi Allah swt. Rasulullah saw bersabda,

كلُّ عملِ ابنِ آدمَ يُضاعفُ ؛ الحسنةُ بعشرِ أمثالِها ، إلى سَبْعِمائةِ ضِعفٍ ، قال اللهُ تعالى :إِلَّا الصَّوْمَ ؛ فإنَّه لِي ، وأنا أجزي به

Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.(HR Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah)

Bila kita memang mampu melaksanakan puasa, kita bisa melaksanakan ibadah puasa dalam sembilan hari pertama di bulan Dzulhijjah, mulai tanggal satu sampai tanggal sembilan Dzulhijjah. Hal ini bisa kita sandarkan kepada keumuman hadist tentang keutamaan bulan Dzulhijjah di mana kita dianjurkan memperbanyak amal dan ibadah. Bila berpuasa selama sembilan hari terasa berat, paling tidak ada satu puasa yang hendaknya kita usahakan dengan maksimal. Puasa tersebut adalah puasa di tanggal 9 Dzulhijjah, atau sering kita sebut puasa Arafah. Rasulullah saw bersabda,

صَومُ يومِ عَرَفةَ يُكفِّرُ سَنتَينِ؛ ماضيةً ومُستقبَلةً،

Puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) menghapuskan dosa selama dua tahun, setahun yang lalu dan setahun yang akan datang (HR Muslim)

3. Berqurban. Allah swt berfirman di surat Al Kautsar ayat 2,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ

Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.

Allah swt juga berfirman di surat Al Hajj ayat 34,

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۗ

Bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban) agar mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang dianugerahkan-Nya kepada mereka.

Dari dua ayat tersebut, kita bisa pahami bahwa ibadah qurban merupakan salah satu bentuk syukur kita kepada Allah swt atas segala nikmat yang telah Allah swt berikan.

Kita tahu bahwa syariat ibadah qurban berawal dari kisah nabi Ibrahim as yang mendapatkan wahyu untuk menyembelih putranya, nabi Ismail as, lalu Allah swt ganti dengan domba. Dan Allah swt memuji nabi Ibrahim as di surat An Nahl ayat 120 – 121:

اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ كَانَ اُمَّةً قَانِتًا لِّلّٰهِ حَنِيْفًاۗ وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ شَاكِرًا لِّاَنْعُمِهِ ۖاجْتَبٰىهُ وَهَدٰىهُ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

Sesungguhnya Ibrahim adalah imam (sosok anutan) yang patuh kepada Allah, hanif (lurus), dan bukan termasuk orang-orang musyrik. (Ibrahim) bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya (dan Allah) telah memilih serta menunjukinya ke jalan yang lurus.

Ayat tersebut semakin menguatkan bahwa ibadah qurban merupakan ibadah yang berkaitan dengan rasa syukur atas nikmat yang telah Allah swt karuniakan kepada kita.

Rasa syukur pada dasarnya berlandaskan atas kesadaran diri bahwa bahwa segala nikmat yang melekat pada diri kita adalah pemberian Allah swt. Ketika kita sadar akan hal itu, maka tentu kita akan merasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Allah swt seperti perintah untuk berqurban, sebagaimana firman Allah swt di surat Al Kautsar ayat 2 di atas.

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ

Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.

Oleh karena itu, ibadah qurban merupakan parameter bagi kita apakah kita termasuk orang yang sadar bahwa segala nikmat dan prestasi yang ada pada diri kita adalah karunai Allah swt, atau kita termasuk orang yang merasa bahwa segala nikmat dan prestasi adalah semata-mata hasil usaha dari jerih payah kita semata sebagaimana Allah menceritakan kisah Qarun di surat Al Qashas ayat 78:

إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي

Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku

Bila kita merasa bahwa semua nikmat berasal dari Allah swt maka kita akan mudah mengeluarkan sebagian nikmat tersebut demi melaksanakan perintah Allah swt seperti ibadah Qurban. Namun, bila kita masih merasa berat mengeluarkan bisa jadi di dalam hati kita masih ada rasa bahwa segala nikmat yang ada adalah hasil jerih payah kita sendiri. Logikanya kasarnya, buat apa kita harus mengeluarkan sebagian harta lha wong itu semua adalah jerih payah kita. Jadi yang berhak mengatur pengeluaran ya hanya kita semata. Allah swt tidak boleh mengatur-atur termasuk memerintahkan untuk berqurban.

Oleh karena itu, mari kita tekankan sekali lagi bahwa ibadah qurban adalah semata-mata untuk menunjukkan ketaaatan dan rasa syukur kita kepada Allah swt.

Tiga ibadah di atas yaitu haji, puasa dan qurban merupakan tiga ibadah yang paling tidak bisa kita catat untuk mengisi bulan Dzulhijjah yang insyaAllah sebentar lagi akan datang. Selain tiga ibadah tersebut tentu ada ibadah-ibadah mutlak lain yang bisa kita amalkan seperti berdzikir, membaca Al Quran dan yang lainnnya.

Sebagai penutup, mari kita ingat Kembali firman Allah swt di surat Ibrahim ayat 7:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat. (QS. Ibrahim: 7)

Muflih A. Adnan

504 Jackson Pl NW

Calgary, Alberta

Canada

10 Juni 2023, 3.32 pm

Bekal Ramadhan

Ada satu ayat dalam surat At-Taubah yang menarik untuk kita simak dan kita renungkan:

وَلَوْ اَرَادُوا الْخُرُوْجَ لَاَعَدُّوْا لَهٗ عُدَّةً وَّلٰكِنْ كَرِهَ اللّٰهُ انْۢبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيْلَ اقْعُدُوْا مَعَ الْقٰعِدِيْنَ

Seandainya mereka mau berangkat (sejak semula), niscaya mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu. Akan tetapi, (mereka memang enggan dan oleh sebab itu) Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Dia melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan (kepada mereka), “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu. (QS At Taubah : 46)

Konteks ayat tersebut merupakan seruan untuk berjuang di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan bahwa ketika ada seruan untuk berjuang di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, orang munafiq merasa keberatan untuk bergabung dengan kaum muslimin. Orang munafiq adalah orang yang secara fisik mengaku sebagai muslim, bahkan shalat bersama Rasulullahs shallalahu alayhi wa sallam namun dalam hatinya mereka benci kepada Islam dan Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam. Salah satu sikap yang menunjukkan keenganan untuk bergabung adalah mereka tidak mempersiapkan keperluan untuk berjuang di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala pun juga benci bila kaum munafiq bergabung sehingga Allah subhanahu wa ta’ala membuat hati mereka malas untuk mempersiapakan diri.

Sebagian ulama menafsirkan ayat tersebut dalam konteks yang lebih luas, termasuk untuk konteks bulan Ramadhan. Bila kita merasa datangnya bulan Ramadhan itu tidak berbeda dengan datangnya bulan-bulan lainnya, sehingga kita pun juga tidak mempersiapkan diri kita untuk  menyambutnya, maka ini bisa jadi ini indikator bahwa  Allah subhanahu wa ta’ala tidak menghendaki diri kita untuk mendapatkan kebaikan di bulan Ramadhan. Sebaliknya, kita bersuka cita menyambut bulan Ramadhan dan mempersiapkan bulan Ramadhan dengan serius merupakan salah satu tanda adanya iman di dalam diri kita. Itu juga merupakan salah satu indikator bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki diri kita untuk mendapatkan kebaikan di bulan Ramadhan.

Pada umumnya beribadah di bulan Ramadhan lebih mudah dibanding beribadah di bulan selain bulan Ramadhan. Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

Apabila bulan Ramadhan datang, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu. (HR Bukhari dan Muslim)

Salah satu makna dari hadist tersebut adalah di bulan Ramadhan Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kemudahan kepada para hamba-Nya untuk senantiasa beribadah. Kita juga bisa pahami bahwa di bulan Ramadhan amal yang kecil pun akan diganjar dengan pahala yang luar biasa. Kita juga tahu bahwa di bulan Ramdhan ada lailatul qadar, yaitu malam di mana Ketika kita beramal di dalamnya maka pahalanya setara beramal selama seribu bulan atau sekitar 83 tahun. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ

Tahukah kamu apakah Lailatulqadar itu. Lailatulqadar itu lebih baik daripada seribu bulan. (QS Al Qadar : 2 – 3)

Karena waktu di bulan Ramadhan ini sangat berharga, mari kita optimalkan dan persiapkan diri kita untuk menyambut bulan Ramadhan.

Sebagai ilustrasi, bila kita dihubungi oleh bank (terlepas hukum hadiah dari bank dan legalitas mengambil harta dari bank) bahwa kita terpilih sebagai orang yang diberi kesempatan untuk masuk ke brankas mereka selama 30 menit. Selama 30 menit itu brankas dan seluruh safe deposit box dibuka lalu kita dipersilahkan untuk mengambil apapun yang kita mau. Kira-kira apakah kita hanya mempersiapkan satu tas ransel atau kita membawa truck ke bank tersebut? Lalu di dalam brankas tersebut apakah kita akan sempat bermain games, melihat short di youtube atau scrolling media sosial?

Sebagai orang yang berakal tentu kita akan mengoptimalkan kesempatan tersebut karena dengan hanya mengoptimalkan 30 menit tadi, kehidupan dunia kita akan menjadi jauh lebih baik, seperti tinggal di tempat yang jauh lebih luas dan asri serta memiliki kendaraan yang jauh lebih bagus dan nyaman. Sama halnya dengan bulan Ramadhan, dengan mengoptimalkan bulan Ramadhan, maka kehidupan kita kelak di akhirat akan menjadi jauh lebih baik. Wa lillahi al matsalul a’ala, Allah subhanahu wa ta’ala adalah dzat yang Maha Kaya dan tidak ada yang semisal dengan-Nya.

Bila kita melihat kisah para pendahulu kita, sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum menyelesaikan semua urusan dunia sebelum masuk bulan Ramadhan (riwayat masih dalam pengecekan). Bila ada tetangga yang kekurangan, sahabat yang mampu memenuhi kebutuhan yang tidak mampu sehingga orang yang Allah subhanahu wa ta’ala taqdirkan tidak mampu secara materi bisa fokus beribadah tanpa perlu khawatir dengan kebutuhan mereka dan keluarganya. Contoh lain adalah Imam Malik rahimahullah, ketika bulan Ramadhan beliau menutup majlis beliau di masjid Nabawi dan menghabiskan bulan Ramadhan khusus untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam satu tahun selama sebelas bulan beliau melayani umat dengan majlis ilmunya, dan khusus untuk satu bulan ini beliau fokus beribadah untuk diri beliau sendiri.

Pada kali ini akan kita bahas empat ibadah yang bisa kita laksanakan untuk mengoptimalkan bulan Ramadhan:

1. Puasa: Secara Bahasa puasa (ash shiyam) berarti menahan diri (al imsak). Secara istilah, puasa adalah beribadah kepada Allahs wt dengan menahan diri dari segala pembatal puasa sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dalam bulan Ramadhan, kita diperintahkan untuk berpuasa selama satu bulan penuh. Ini adalah kesempatan baik bagi kita untuk meraup kebaikan karena pahala puasa luar biasa besar. Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam bersabda, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (hadits qudsi):

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk Aku dan Aku sendiri yang akan memberi balasannya (HR Bukhari)

Sebagian ulama memahami makna hadist tersebut bahwa pahala puasa itu tidak terbatas. Pendapat ini didasari oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala

قُلْ يٰعِبَادِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوْا رَبَّكُمْ ۗلِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗوَاَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةٌ ۗاِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya dengan tanpa batas.(QS Az Zumar : 10)

Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pahala tanpa batas bagi orang yang bersabar. Ketika kita berpuasa, kita pada dasarnya sedang bersabar, bersabar dalam menjalankan ketaatan, bersabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat, bersabar dalam menahan makan dan minum serta pembatal puasa lainnya.

Puasa juga bisa menjadi amalan penggugur dosa. Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam bersabda,

مَن صَامَ رَمَضَانَ، إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ.

Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan ihtisab (mengharap pahala) maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari)

2. Membaca Al Quran: Bulan Ramadhan merupakan bulan di mana diturunkannya Al Quran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). (QS Al Baqarah : 185)

Di bulan Ramadhan Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam juga membaca Al quran dihadapan Malaikat Jibril as.

كان النبي صلى الله عليه وسلم أجود الناس بالخير وأجود ما يكون في شهر رمضان لأن جبريل كان يلقاه في كل ليلة في شهر رمضان حتى ينسلخ يعرض عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم القرآن فإذا لقيه جبريل كان أجود بالخير من الريح المرسلة

Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam merupakan orang yang paling dermawan dengan kebaikan dan menjadi paling dermawan di bulan Ramadhan, karena Jibril menemui Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam setiap malam dan mengajarkan Al Quran hingga Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam wafat. Ketika Jibril dating kepada Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam, beliau menjadi semakin dermawan bagaikan angin yang berhembus. (HR Bukhari)

Membaca Al quran di bulan ramadhan juga merupakan salah satu amalan pendukung amalan puasa, Kita tahu bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah : 184)

Kita diperintahkan berpuasa agar kita menjadi manusia yang bertaqwa. Sama halnya dengan membaca Al quran dimana membaca Al quran juga merupakan amalan yang bisa membuat diri kita menjadi manusia yang bertaqwa. Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam menjelaskan,

من حافظ على هؤلاءِ الصلواتِ المكتوباتِ ؛ لم يُكتَب من الغافلين ، ومن قرأ في ليلةٍ مئةَ آيةٍ ؛ كُتِبَ من القانتين

Barangsiapa menjaga sholat lima waktu, maka ia tidak dicatat sebagai orang yang lalai. Barangsiapa yang membaca Al Quran seratus ayat di malam hari maka ia dicatat sebagai orang yang qaanitiin. (HR Hakim, Ibn Huzaimah, dan Bahaqi).

Qanittin ini adalah salah satu sifat orang yang bertaqwa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلْ اَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِّنْ ذٰلِكُمْ ۗ لِلَّذِيْنَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا وَاَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَّرِضْوَانٌ مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِالْعِبَادِۚ اَلَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اِنَّنَآ اٰمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِۚ اَلصّٰبِرِيْنَ وَالصّٰدِقِيْنَ وَالْقٰنِتِيْنَ وَالْمُنْفِقِيْنَ وَالْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالْاَسْحَارِ

Katakanlah, “Maukah aku beri tahukan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa, di sisi Tuhan mereka ada surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya dan (untuk mereka) pasangan yang disucikan serta rida Allah. Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya. (Yaitu) orang-orang yang berdoa, “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami benar-benar telah beriman. Maka, ampunilah dosa-dosa kami dan selamatkanlah kami dari azab neraka.” (Juga) orang-orang yang sabar, benar, taat, dan berinfak, serta memohon ampunan pada akhir malam. (QS Ali Imran : 15 -17)

Sembari menunggu waktu berbuka, kita bisa mendorong diri kita untuk membaca Al Quran. Pahala dan keutamaan membaca Al Quran sudah kita bahas pada pertemuan sebelumnya. Bila ternyata kita sudah merasa sangat lelah untuk membaca Al Quran, atau misalkan sedang driving, kita bisa mengoptimalkan waktu kita dengan mendengarkan murattal Al Quran. Allah swt berfirman,

وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Jika dibacakan Al-Qur’an, dengarkanlah (dengan saksama) dan diamlah agar kamu dirahmati (mendapatkan rahmat) (QS Al A’raf : 204)

3. Shalat tarawih: Shalat tarawih merupakan shalat malam yang terdiri dari shalat tahajjud dan shalat witir. Berbeda dengan shalat malam di di malam selain bulan Ramadhan yang mana pelaksanaannya adalah shalat sendiri-sendiri, di dalam bulan Ramadhan shalat malam dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjamaah. Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam bersabda,

من قام مع الإمامِ حتى ينصرفَ كتب اللهُ له قيامَ ليلةٍ

Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh (HR. An Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Selain itu Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam juga bercerita tentang pahala besar dari shalat malam,

مَن قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang melaksanakan qiyam Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala kepada Allah, akan diampuni baginya dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari)

4. Berbakti kepada orang tua. Berbakti kepada orang tua merupakan perintah yang langsung Allah subhanahu wa ta’ala turunkan melalui firman-Nya:

۞ وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ

Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil. (QS Al Isra : 23 – 24)

Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam juga bersabda, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

سَأَلْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أيُّ العَمَلِ أحَبُّ إلى اللَّهِ؟ قالَ: الصَّلاةُ علَى وقْتِها، قالَ: ثُمَّ أيٌّ؟ قالَ: ثُمَّ برُّ الوالِدَيْنِ، قالَ: ثُمَّ أيٌّ؟ قالَ: الجِهادُ في سَبيلِ اللَّهِ

Aku pernah bertanya kepada Rasulullah,”Amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab,”Mendirikan shalat pada waktunya.” Aku bertanya kembali,”Kemudian apa?” Jawab Beliau,”Berbakti kepada ke orang tua,” lanjut Beliau. Aku bertanya lagi,”Kemudian?” Beliau menjawab,”Jihad di jalan Allah.” (HR Bukhari).

Berbuat baik kepada orang tua pada dasarnya adalah menyenangkan hati orang tua. Ada salah satu ulama yang menganjurkan kita bila memang kita mampu untuk menemani orang tua selama bulan Ramadhan, maka sebaiknya kita berkunjung ke rumah orang tua dan menemani beliau. Setelah 20 hari bersama orang tua dan telah datang 10 hari terakhir, dan maka kita bisa meminta izin kepada orang tua untuk beri’tikaf di masjid. Bila orang tua menghendaki kita tetap di rumah maka semoga kita diizinkan untuk beri’tikaf di malam hari dan di siang hari kita menemani orang tua. Bila ternyata kita tidak mampu untuk menemani orang tua, paling tidak kita mengirimkan hadiah kepada orang tua sehingga dengan hadiah tersebut hati orang tua kita merasa senang.

Selain empat ibadah yang tadi sudah kita bahas, ada banyak ibadah lain yang bisa kita lakukan untuk mengoptimalkan bulan Ramadhan kita, seperti, bersedekah, berinfaq, memberi makan untuk buka puasa, dan melaksanakan umrah. Intinya mari kita optimalkan waktu kita supaya Ramadhan tahun ini lebih baik dibanding Ramadhan tahun sebelumnya.

Sebagai penutup, mari kita simak kisah yang terjadi di zaman Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam. Kisah ini diriwayatkan oleh Thalhah bin ‘Ubaidullah radhiyallahu ‘anhu.

 أنَّ رَجُلَينِ قَدِما على رَسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، وكان إسلامُهما جَميعًا، وكان أحَدُهما أشَدَّ اجتِهادًا مِن صاحِبِه، فغَزا المُجتَهِدُ منهما، فاستُشهِدَ، ثم مَكَثَ الآخَرُ بَعدَه سَنةً، ثم تُوُفِّيَ، قال طَلحةُ: فرأيتُ فيما يَرى النَّائِمُ كأنِّي عِندَ بابِ الجَنَّةِ إذا أنا بهما وقد خرَجَ خارِجٌ مِنَ الجَنَّةِ، فأذِنَ للذي تُوُفِّيَ الآخِرَ منهما، ثم خَرَجَ فأذِنَ للذي استُشهِدَ، ثم رَجَعا إليَّ فقالا لي: ارجِعْ؛ فإنَّه لم يَأْنِ لكَ بَعدُ. فأصبَحَ طَلحةُ يُحدِّثُ به الناسَ، فعَجِبوا لذلك، فبلَغَ ذلك رَسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فقال: مِن أيِّ ذلك تَعجَبونَ؟ قالوا: يا رَسولَ اللهِ، هذا كان أشَدَّ اجتِهادًا، ثم استُشهِدَ في سَبيلِ اللهِ، ودخَلَ هذا الجَنَّةَ قَبلَه. فقال: أليس قد مَكَثَ هذا بَعدَه سَنةً؟ قالوا: بلى. وأدرَكَ رَمَضانَ فصامَه؟ قالوا: بلى. وصلَّى كذا وكذا سَجدةً في السَّنةِ؟ قالوا: بلى. قال رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: فلَمَا بَينَهما أبعَدُ ما بَينَ السَّماءِ والأرضِ.

Dari Thalhah bin ‘Ubaidullah bahwa dua orang laki-laki dari Baliy datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan masuk Islam. Salah seorang dari keduanya lebih semangat berjihad dari yang lainnya, kemudian dia pergi berperang sehingga ia menemui syahid. Sedangkan yang satunya lagi masih hidup hingga setahun setelahnya, lalu dia meninggal dunia.” Thalhah berkata, “Kemudian aku bermimpi seakan-akan aku berada di pintu surga. Tiba-tiba aku berada di sisi kedua laki-laki tersebut, setelah itu Malaikat keluar dari surga. Malaikat itu kemudian mengizinkan laki-laki yang meninggal dunia belakangan dari keduanya untuk memasukinya, kemudian ia keluar lagi dan mempersilahkan kepada laki-laki yang mati syahid. Lalu malaikat itu kembali kepadaku dan berkata, ‘Kembalilah kamu, sebab belum saatnya kamu memperoleh hal ini.’ Keesokan harinya Thalhah menceritakannya kepada orang-orang, mereka pun heran. Mereka lalu memberitahukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan kejadian tersebut. Maka beliau bersabda: “Perkara yang mana yang membuat kalian heran?” mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, laki-laki (yang pertama meninggal) adalah orang yang paling bersemangat dalam berjihad dari yang lain, lalu dia mati syahid. Tapi mengapa orang yang lain (laki-laki yang meninggal belakangan) justru masuk surga terlebih dahulu darinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Bukankah orang ini hidup setahun setelahnya?” mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda: “Bukankah ia mendapatkan bulan Ramadan dan berpuasa? Ia juga telah mengerjakan shalat ini dan itu dengan beberapa sujud dalam setahun?” mereka menjawab, “Ya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kembali bersabda: “Sungguh, sangat jauh perbedaan antara keduanya (dalam kebajikan) bagaikan antara langit dan bumi. (HR Ibnu Majah)

Muflih A. Adnan

504 Jackson Pl

Calgary, AB

Canada

Ahad, 12 Maret 2023 pukul 08.28 am

Harta Terbaik

Sebagai orang yang beriman, kita tentu meyakini rukun Iman bahwa hari akhir itu pasti ada. Hari akhir merupakan salah satu rukun iman dari enam rukun iman yang ada, yaitu iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada Kitab, iman kepada Rasul, iman kepada hari akhir dan iman kepada Takdir. Salah satu agenda yang akan dijalani oleh manusia di hari akhir adalah yaumul hisab, yaitu hari di mana kita akan mempertanggungjawabkan segala hal yang pernah kita lakukan di dunia ini. Allah swt berfirman,

يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوْاۗ اَحْصٰىهُ اللّٰهُ وَنَسُوْهُۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌࣖ

Pada hari itu Allah membangkitkan mereka semua, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah menghitungnya (semua amal) meskipun mereka telah melupakannya. Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu (QS: Al Mujadilah : 6)

Di yaumul hisab, harta merupakan salah satu hal yang harus kita pertanggung jawabkan di hadapan Allah swt.Allah swt berfirman,

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

“Kemudian, pada hari kiamat itu, sungguh kalian akan ditanya tentang kenikmatan.” (QS. at-Takatsur: 8)

Rasulullah saw juga bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya. (HR. Turmudzi 2417, ad-Darimi 537, dan dishahihkan al-Albani)


Bila kita perhatikan sabda Rasulullah saw, untuk urusan harta, pertanyaanya ada dua: (1) dari mana diperoleh dan (2) ke mana dibelanjakan. Oleh karena itu kita sebaiknya sangat berhati-hati terhadap cara mendapatkan harta dan cara membelanjakan harta agar kelak di akhirat kita tidak menghadapi kesulitan kelak di hari akhir.

Untuk poin pertama, insyaAllah sebagian besar kita paham bagaimana cara mendapatkan harta secara halal. Harta halal sendiri dibagi menjadi beberapa tingkatan berdasarkan kualitasnya. Harta yang memiliki kualitas tertinggi adalah harta yang didapatkan dengan jerih payah sendiri. Ada seseorang yang pernah bertanya kepada Rasulullah saw,

أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ  عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ

“Wahai Rasulullah, mata pencaharian apa yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad)

Selain berusaha dari sisi sebab duniawi seperti berdagang dan bekerja, maka jangan lupa pula kita berdoa kepada Allah swt. Rasulullah saw mengajarkan kepada kita doa yang sangat bagus,

اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah berikanlah kepadaku kecukupan dengan harta yang halal dan jauhkanlah aku dari harta yang haram, serta aku mohon berikanlah kepadaku rasa cukup dengan karunia-Mu tanpa perlu berharap kepada selain-Mu” (HR. Tirmidzi).

Adapun harta yang didapat tanpa usaha, ibaratnya hanya duduk-duduk santai pun akhirnya dapat, contohnya harta warisan, maka tingkatan kualitasnya dibawah harta yang kita usahakan sendiri. Meskipun kualitasnya lebih rendah, harta tersebut adalah harta yang statusnya halal sehingga boleh kita manfaatkan.

Harta merupakan salah satu bentuk dari rezeki yang Allah swt karuniakan kepada hamba. Meski demikian, harta bukan satu-satunya rezeki. Bentuk rezeki yang lain contohnya adalah iman, kekuatan, kesabaran dan keikhlasan dalam beribadah, kemampuan panca-indera, kesehatan, keamanan, keluarga yang damai, tetangga yang baik, dan banyak sekali rezeki yang Allah karunaikan kepada kita bahkan kita sendiri yakin kita tidak akan bisa menyebutnya satu per satu. Allah swt berfirman,

وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗ

Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya (QS An Nahl : 18)

Kembali berbicara tentang harta, meski harta adalah salah satu bentuk rezeki, tapi tidak semua harta adalah rezeki kita. Rasulullah saw bersabda,

يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِى مَالِى إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلاَثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ

“Hamba berkata, “Harta-hartaku.” Bukankah hartanya itu hanyalah tiga: yang ia makan dan akan sirna, yang ia kenakan dan akan usang, yang ia beri yang sebenarnya harta yang ia kumpulkan. Harta selain itu akan sirna dan diberi pada orang-orang yang ia tinggalkan.” (HR. Muslim)

Dari hadist tersebut, kita tahu bahwa rezeki kita hanyalah sebatas harta yang kita manfaatkan baik itu makanan, minuman, pakaian, kendaraan, dll. Oleh karena itu, perlu kita pahami bahwa meski harta tersebut berasal dari hasil usaha kita, tapi belum tentu harta tersebut adalah rezeki yang bermanfaat bagi kita.

Islam sebagai agama yang sempurna, memiliki panduan tentang cara menggunakan harta sehingga harta tersebut bermanfaat bagi kita baik di dunia dan di akhirat. Dengan mengikuti panduan yang ada semoga kita juga mendapatkan kemudahan saat yaumuh hisab. Pada kali ini kita akan membahas dua poin tentang panduan penggunaan harta.

1. Jangan pelit dan jangan pula berlebihan (israf) dalam mengeluarkan harta

Allah swt berfirman,

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُوْلَةً اِلٰى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُوْمًا مَّحْسُوْرًا

Janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan jangan (pula) engkau mengulurkannya secara berlebihan sebab nanti engkau menjadi tercela lagi menyesal. (QS Al Isra : 29)

Imam Asy-Syaukani menjelaskan bahwa ayat tersebut melarang manusia menahan hartanya (pelit) sehingga mempersulit diri sendiri dan keluarganya. Pelit ini terkadang menjadi tabiat dasar yang menjadi salah satu ujian bagi hamba di dunia ini. Rasulullah saw bersabda,

أنْفِقِي، أوِ انْضَحِي، أوِ انْفَحِي، ولا تُحْصِي، فيُحْصِيَ اللَّهُ عَلَيْكِ

Infaqkan, keluarkan atau sebarkan dan jangan dihitung-hitung (terus menyimpan tanpa mau mengeluarkannya), maka Allah akan perhitungan terhadapmu. (HR Muslim)

Hadist ini mungkin bisa jadi pengingat bagi kita bahwa salah satu kodrat manusia adalah senang melihat harta, kalau saat ini barangkali bisa dianalogikan dengan senang melihat angka yang ada di akun bank. Jangan sampai karena cinta berlebihan terhadap nominal akun bank, kita merasa enggan untuk mengeluarkan harta. Allah swt berfirman,

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍۙ ۨالَّذِيْ جَمَعَ مَالًا وَّعَدَّدَهٗۙ

Celakalah setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. (QS. Al Humazah : 1-2).

Untuk mengatasi ujian tersebut Rasulullah saw telah mengajarkan kepada kita sebuah doa agar kita dimudahkan oleh Allah swt untuk berusaha agar tidak pelit.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kesusahan, lemah dan malas, pelit dan penakut, lilitan hutang dan penindasan orang (HR. Bukhari)

Selain berlindung dari sifat pelit, Islam juga melarang kita untuk berlebih-lebihan (israf) dalam mengeluarkan harta. Allah swt juga berfirman,

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَاماً

Orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. Al-Furqan: 67)

Perlu digaris bawahi bahwa berlebih lebihan (israf) itu berbeda dengan mubazir. Israf adalah mengeluarkan harta secara berlebihan dalam hal yang mubah. Misalkan seseorang membeli makanan dalam jumlah yang sangat banyak hingga akhirnya ada makanan yang terbuang. Contoh lainnya adalah seseorang membeli banyak pakaian sedangkan yang kita pakai hanya sedikit sehingga sebagian besar pakaian hanya menganggur di dalam lemari atau bahkan di basement.

Sedangkan definisi mubazir adalah mengeluarkan harta untuk bermaksiat kepada Allah, meskipun nilainya kecil. Mubadzir ini ancamannya lebih berat,

اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا

Sesungguhnya pelaku tindakan mubadzir itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. Al Isra : 27)

2. Mengeluarkan harta sesuai prioritas

Rasulullah saw bersabda,

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا ، بَيْنَ يَدَيْكَ ، وَعَنْ يَمِينِكَ ، وَعَنْ شِمَالِكَ

Mulailah dari dirimu sendiri. Sedekahkanlah untuk dirimu. Selebihnya dari itu untuk keluargamu (anak dan istrimu). Selebihnya lagi dari itu untuk kerabat dekatmu. Selebihnya lagi dari itu untuk tujuan ini dan itu yang ada di hadapanmu, yang ada di kanan dan kirimu. (HR. Muslim)

Dari hadist tersebut bisa kita pahami bahwa prioritas penggunaan harta adalah: pertama untuk diri sendiri, selanjutnya untuk keluarga yang terdiri dari anak dan istri, lalu kerabat dekat seperti orang tua, kakak/adik, dan sepupu, kemudian baru orang yang lebih jauh lagi seperti tetangga dan juga untuk membeli kebutuhan sekunder dan tersier.

Di sini perlu kita tekankan bahwa nafkah dasar dalam keluarga yang terdiri dari terdiri dari makanan, pakaian dan tempat tinggal adalah tanggung jawab suami. Oleh karena itu, dalam bab nikah, seseorang yang baru mampu menafkahi diri sendiri, maka dia belum dianjurkan untuk menikah.

Bagi yang sudah menikah, perlu digaris bawahi bahwa memberi nafkah kepada keluarga memiliki keutamaan yang sangat tinggi. Rasulullah saw bersabda,

دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (HR. Muslim).

Di lain waktu Rasulullah saw bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

Hanya dengan melalaikan orang yang ia wajib beri nafkahi, maka seseorang tersebut berdosa. (HR. Abu Daud, no. 1692. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Setelah kita telah menunaikan kewajiban nafkah dasar kepada diri sendiri, keluarga dan kerabat, lalu ternyata masih ada harta yang kita miliki, maka sebaiknya harta tersebut kita gunakan untuk hal yang lebih luas lagi agar manfaat harta menjadi lebih optimal. Rasulullah saw bersabda,

لَوْ كَانَ لِى مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا لَسَرَّنِى أَنْ لاَ تَمُرَّ عَلَىَّ ثَلاَثُ لَيَالٍ وَعِنْدِى مِنْهُ شَىْءٌ ، إِلاَّ شَيْئًا أُرْصِدُهُ لِدَيْنٍ

Andai saya memiliki emas sebesar gunung Uhud, saya tidak ingin emas itu berada di tempatku selama 3 hari sementara masih ada yang tersisa, selain sebagian yang kusiapkan untuk melunasi utang. (HR. Bukhari & Muslim).

Memanfaatkan harta tidak berarti harus disedekahkan semuanya. Ada banyak cara untuk memanfaatkan harta selain untuk sedekah seperti:

1. Menunaikan ibadah haji. Haji merupakan salah satu rukun Islam, hukumnya sama seperti sholat, yaitu wajib bagi yang memenuhi syarat. Salah satu syarat wajib haji adalah mampu secara finansial. Artinya, kita mampu untuk membiayai haji dan menafkahi keluarga yang menjadi tanggung jawab kita. Allah swt berfirman,

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam. (QS Ali Imrah : 97)

2. Diinvestasikan, bila kita memiliki saudara atau rekan yang bisa kita percaya dan yang bersangkutan perlu dana untuk usaha/bisnisnya, maka bisa kita serahkan sebagian dana kita untuk usahanya. Rasulullah saw bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيُزْرِعْهَا أَخَاهُ

Siapa yang memiliki tanah, hendaknya dia kelola (dengan ditanami). Jika dia tidak mampun untuk mengelolanya, berikan kesempatan bagi saudaranya. (HR. Muslim).

Namun perlu diingat bahwa sebelum masuk ranah ini sebaiknya kita belajar lebih dalam lagi fiqih muamalah tentang akad mudharabah sehingga tidak ada sengketa diantara kaum muslimin karena harta.

3. Dihutangkan. Akad hutang ini pada dasarnya adalah akad tolong menolong. Menghutangi orang lain memiliki banyak sekali keutamaan dan keutamaannya sangatlah besar. Rasulullah saw bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً

Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada seorang muslim suatu pinjaman sebanyak dua kali, maka ia seperti telah bersedekah sekali. (HR. Ibnu Majah).

Rasulullah saw juga bersabda,

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّيْنُ , فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ

Barangsiapa memberi tenggang waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan, dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum bisa dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

4. Digunakan sendiri. Pada dasarnya pemanfaatanharta untuk mempermudah urusan kita di dunia ini merupakan hal yang baik. Dalam Islam kita dianjurkan untuk hidup sesuai kadar rezeki yang Allah swt karuniakan kepada kita. Bila kita dikaruniai kemampuan untuk membeli barang/jasa yang bagus untuk meningkatkan kenyamanan dalam beraktivitasa dan beribadah, maka silakan beli barang/jasa tersebut. Menggunakan pakaian, kendaraan atau barang lainnya yang bagus tidak dilarang oleh Islam. Rasulullah saw bersabda,

لا يدخلُ الجنةَ مَنْ كان في قلبِهِ مِثقالُ ذرَّةٍ من كِبرٍ ، قِيلَ : إنَّ الرجُلَ يُحبُّ أنْ يكونَ ثوبُهُ حسنًا ، ونعلُهُ حسنةً ، قال : إنَّ اللهَ جميلٌ يُحبُّ الجمالَ ، الكِبرُ بطَرُ الحقِّ ، و غمْطُ الناسِ

Tidak akan masuk surga orang yang memiliki rasa sombong di hatinya meski hanya sekecil zarrah. Seseorang bertanya, “ada orang yang senang mengenakan pakaian bagus dan alas kaki yang bagus.” Rasulullah saw menjawab,”Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan, sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia (merasa dirinya lebih mulia dibanding orang lain).” (HR Muslim)

Bahkan Islam melarang untuk hidup dalam kesulitan bila pada kenyataannya Allah swt memberikan rezeki kepadanya karena dikhawatirkan akan condong kepada kufur terhadap nikmat Allah swt, sedangkan Allah swt berfirman,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu tampakkan. (QS Adh Dhuha : 11).

Sebagai penutup, mari kita simak hadist Rasulullah saw berikut,

نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

Harta terbaik adalah harta yang dipegang oleh orang yang baik. (HR. Bukhari)

Orang shalih adalah orang yang menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak makhluk.

Muflih A. Adnan

504 Jackson Pl

Calgary, AB

Canada

Rabu, 28 Desember 2022 pukul 9.35 pm

Amalan di Penghujung Usia

Berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), amal adalah perbuatan baik itu yang bersifat baik atau bersifat buruk. Adapun ujung usia, merupakan saat-saat terakhir dalam hidup. Barangkali bagi sebagian orang, ketika mendengar istilah ujung usia, maka yang ada dalam benaknya adalah waktu di mana seseorang sudah masuk ke dalam usia senja, dan biasanya pada usia senja, kita sudah mulai fokus untuk beribadah. Perlu kita pahami bersama bahwa banyak kejadian mengisyaratkan bahwa ujung usia itu tidak sama dengan usia senja. Tidak asing kita dengar berita bahwa fulan wafat pada usia puncak produktifnya. Atau bahkan berita bahwa fulan wafat pada usia remaja atau bahkan anak-anak. Ini artinya ujung usia tidak hanya usia senja, namun ujung usia bisa jadi kapan saja dan tidak ada yang tahu.

Ujung usia merupakan saat-saat yang sangat kritis bagi hamba Allah subhanahu wa ta’ala (swt). Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam (saw) bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari)

Untuk memahami hadits tersebut ada baiknya kita menyimak latar belakang Rasulullah saw bersabda demikian.

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم  إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ  فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ  فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ   فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ  حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ .

فَقَالَ النَّبِىُّ  صلى الله عليه وسلم إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ  وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ  وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ  وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا

Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad As-sa’idi, beliau berkata bahwa Nabi saw melihat seorang prajurit muslimin yang dengan gagah berani melawan orang-orang musyrik. Lalu beliau saw bersabda, “siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, maka lihatlah orang ini.” Kemudian seseorang mengikutinya hingga prajurit tadi terluka dan ia ingin segera mati (mengakhiri penderitaan lukanya). Lalu, ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia tusukkan hingga menembus di antara kedua lengannya.

Selanjutnya Nabi saw bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu ditentukan dengan akhirannya.” (HR. Bukhari)

Bila seorang hamba beramal baik menjelang wafatnya maka insya Allah hal tersebut bisa jadi indikator bahwa hamba tersebut husnul khotimah. Hamba yang mendapatkan husnul khotimah adalah hamba yang dicintai oleh Allah swt. Rasulullah saw bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ  فَقِيلَ كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ الْمَوْتِ

“Jika Allah menginginkan kebaikan untuk seorang hamba maka Dia akan mempekerjakannya”, beliau ditanya, “Bagaimana Allah akan mempekerjakannya, wahai Rasulullah?”, beliau menjawab, “Allah akan memberinya petunjuk untuk beramal shalih sebelum meninggal”. (HR. Tirmidzi)

Berdasar hadits tersebut, misalkan kita mendapati informasi bahwa fulan wafat setelah menunaikan shalat, atau fulan wafat saat menunaikan ibadah haji, atau fulan wafat saat membaca Alquran, atau amal-amal ibadah yang lainnya, dan berita tersebut cukup banyak beredar diantara kita, maka insyaAllah itu indikator kuat bahwa fulan termasuk golongan orang yang dicintai Allah swt. Sedangkan tujuan kita semua adalah untuk mendapatkan cinta dan ridho Allah swt.  

Sebaliknya, bila seorang hamba wafat dalam keadaan bermaksiat kepada Allah swt maka hal tersebut merupakan indikator bahwa hamba tersebut wafat dalam keadaan yang kurang baik. Meski demikian, bila yang bersangkutan adalah seorang muslim kita sebagai hamba Allah swt yang biasa (bukan Nabi atau Rasul) tidak boleh memberi vonis bahwa yang bersangkutan masuk neraka. Misalkan ada orang yang wafatnya karena bunuh diri, maka kita tidak boleh langsung mengatakan bahwa ia masuk neraka, karena bisa jadi Allah swt mengampuni. Allah swt berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An Nisa: 48)

Setelah kita tahu bahwa amal di penghujung usia merupakan amalan yang sangat menentukan, kita juga perlu pahami bahwa iblis dan rekan-rekannya juga berjuang keras agar dapat menggelincirkan hamba saat menjelang wafat. Mereka sadar bahwa inilah kesempatan terakhir mereka untuk membuat seorang hamba keluar dari Islam sehingga bisa menemani mereka di neraka. Ada banyak kisah yang berujung kepada kesedihan karena godaan iblis tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah wafatnya Abi Thalib, paman Rasulullah saw. Ada juga kisah seseorang yang sudah dalam kondisi sakit parah, lalu ia minta diambilkan Al quran. Dalam benak keluarganya, ia ingin membaca Al quran, namun ternyata ia meludahi Al quran dan berkata bahwa ia tidak mempercayai Al quran sebagai firman Allah, lalu wafat. Na’udzubillahi min dzalik.

Oleh karena itu penting bagi kita sebagai hamba Allah swt untuk mengetahui cara agar bisa berpegang teguh pada ajaran Islam di tengah godaan syaitan saat menjelang wafat. Berikut ada beberapa poin tentang ikhtiyar untuk mendapatkan husnul khotimah.

Pertama: Bertaqwa kepada Allah swt. Perintah taqwa merupakan wasiat yang senantiasa perlu kita ingat. Allah swt berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. (QS Ali Imran: 102)

Saat-saat akhir usia merupakan waktu yang sangat sulit, banyak cobaan dan ini adalah saat-saat penentuan antara surga dan neraka. Oleh karena itu, semoga dengan senantiasa bertaqwa kepada Allah swt, kita akan mendapatkan kemudahan dalam segala urusan selama hidup di dunia dan juga termasuk saat akan meninggalkan dunia ini. Allah swt berfirman,

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا

Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya. (QS At Thalaq: 4)

Kedua: Mengingat kematian dan bertaubat. Ketika kita sering mengingat bahwa pada akhirnya kita semua akan meninggalkan dunia ini, maka kita akan senantiasa bersiap-siap untuk menghadapinya. Rasulullah saw bersabda,

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ

Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, Nasa’I dan Ahmad)

Salah satu bentuk bersiap-siap dalam menghadapi kematian adalah tidak menunda-nunda untuk bertaubat. Tidak menunggu taubat hingga besok hari, karena bisa jadi tidak bangun lagi setelah tidur. Allah swt berfirman,

وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ

Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (QS Ali Imran: 133)

Mengingat kematian juga akan membuat seorang hamba menjadi qana’ah dan tidak terlalu berhasrat untuk mengejar prestasi dunia sehingga bisa lebih selektif dalam semua aktivitas dan keputusan hidup yang diambilnya. Selalu mempertimbangkan semua hal dengan kacamata akhirat. Bila hal tersebut bermanfaat bagi kehidupannya di akhirat kelak maka akan ia lakukan, namun apabila tidak bermanfaat maka akan ia tinggalkan. Salah satu cara yang baik untuk mengingat kematian adalah dengan mengunjungi kuburan. Rasulullah saw bersabda,

إِنِّيْ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّ فِيْهَا عِبْرَةً

Sesungguhnya dulu aku telah melarang kalian dari berziarah kubur, maka sekarang ziarahilah kubur, sesungguhnya pada ziarah kubur itu ada pelajaran (bagi yang hidup). (HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi)

Kuburan adalah tempat orang-orang yang dulunya juga hidup seperti kita. Barangkali diantara kita ada yang fokus berlomba-lomba dalam mengejar prestasi dunia. Namun perlu diingat pada akhirnya kita akan berakir seperti mereka yang berada di dalam tanah.

Ketiga: Tidak mendzalimi orang lain. Selain hubungan kita dengan Allah swt, hubungan kita dengan hamba Allah yang lain perlu juga diperhatikan. Bahkan urusan inimenjadi urusan yang sangat penting karena ini bisa jadi salah satu sebab seorang hamba terjerumus dalam su’ul khotimah. Rasulullah saw bersabda,

اتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهَا لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

Berhati-hatilah terhadap doa orang yang terdzalimi karena tidak ada penghalang antara doanya dan Allah swt (HR. Bukhari)

Berdasar hadits tersebut hendaknya kita waspada terhadap doa orang yang terdzalimi. Jangan sampai orang yang terdzalimi berdoa dan mendoakan keburukan. Barangkali saking kalutnya orang yang terdzalimi tersebut hingga ia tidak tau harus berdoa apa. Ia hanya berdoa keburukan menimpa orang yang mendzaliminya. Bisa jadi Allah swt mengabulkan doanya puluhan tahun kemudian saat orang yang mendzolimi akan wafat, dan akhirnya ia wafat dalam keadaan su’ul khotimah karena doa orang yang terdzalimi. Oleh karena itu, sebaiknya mari kita jaga lisan dan perbuatan selama berinteraksi kepada manusia. Termasuk ketika berinteraksi kepada orang tua, anak dan istri/suami.

Keempat: Berbuat baik kepada orang lain dan memperbanyak amalan rahasia. Bila kita mengingat hadits yang telah disebutkan di atas tentang seorang hamba yang melakukan amalan ahli surga tapi ketika akan menemui ajal ia beramal dengan amalan ahli neraka dan akhirnya ia masuk ke neraka, dan ada juga hamba yang melakukan amalan ahli neraka tapi ketika akan menemui ajal ia beramal dengan amalan ahli surga tapi pada akhirnya masuk ke surga. Dalam Riwayat lain, Rasulullah saw bersabda

إن الرجلَ ليعملَ بعملِ أهلِ الجنةِ، فيما يبدُو للناسِ ، وإنه من أهلِ النارِ, ويعملُ بعملِ أهلِ النارِ ، فيما يبدُو للناسِ ، وهو من أهلِ الجنةِ

Ada seseorang yang ia sungguh telah beramal dengan amalan penghuni surga dalam pandangan orang-orang, namun ia menjadi penghuni neraka. Dan ada seseorang yang ia sungguh telah beramal dengan amalan penghuni neraka dalam pandangan orang-orang, namun ia menjadi penghuni surga. (HR. Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu (ra))

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan bahwa semua itu kembali kepada masalah batin. Bisa jadi seseorang nampak banyak beramal tapi di dalam hatinya ada ujub dan riya maka semua amal tersebut tidak akan mengantarkannya kepada husnul khotimah. Selain itu, bisa jadi juga orang nampak beramal shalih ketika di depan manusia, tapi Ketika ia sendirian ia bermaksiat kepada Allah swt. Oleh karena itu, sebagaimana maksiat tersembunyi bisa mengantarkan seseorang kepada su’ul khotimah, maka bisa jadi beramal secara tersembunyi bisa menjadi sarana menuju husnul khotimah. Oleh karena itu sembunyikanlah amal shalih kita sebanyak mungkin sehingga amal tersembunyi yang kita miliki lebih banyak dibanding maksiat yang tersembunyi.

Diantara amal baik yang dianjurkan adalah berbuat baik kepada orang lain seperti membantu keluarga dan membantu fakir miskin di sekitarnya tanpa diketahui oleh orang lain. Rasulullah saw bersabda,

صَنَائِعُ الْمَعْرُوفِ تَقِي مَصَارِعَ السُّوءِ

Berbuat baik kepada orang lain akan menghalangi dari kesudahan yang buruk. (HR. Thabrani)

Kelima: Berdoa kepada Allah swt. Kita adalah hamba yang lemah. Kita tidak bisa beribadah, dan melakukan amal shalih lainnya kecuali atas taufiq dan hidayah dari Allah swt. Oleh karena itu, hal terpenting yang harus kita lakukan adalah senantiasa berdoa kepada Allah swt. Kita senantiasa berdoa gara selalu dimudahkan dalam bertaqwa kepada Allah swt, dimudahkan dalam beramal shalih secara ikhlas, dimudahkan dalam menjaga diri dari kedzaliman, dan dimudah

Nabi Yusuf alayhissalaam (as) telah menghadapi banyak cobaan, mulai dari percobaan pembunuhan hingga terkena fitnah wanita. Setelah mampu melewati masa-masa sulit, tersebut Allah swt memberikan banyak sekali kemudahan dalam kehidupan beliau. Meski demikian, nabi Yusuf as masih tetap memohon kepada Allah swt agar diwafatkan dalam keadaan husnul khotimah.

رَبِّ قَدْ اٰتَيْتَنِيْ مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِيْ مِنْ تَأْوِيْلِ الْاَحَادِيْثِۚ فَاطِرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ اَنْتَ وَلِيّٖ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۚ تَوَفَّنِيْ مُسْلِمًا وَّاَلْحِقْنِيْ بِالصّٰلِحِيْنَ

Tuhanku, sungguh Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil mimpi. (Wahai Tuhan) pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat. Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang saleh.” (QS Yusuf: 101)

Sahabat Umar bin Khattab ra yang telah dijamin oleh Rasulullah saw masuk surga juga senantiasa berdoa agar dikaruniai husnul khatimah. Berikut doa yang dipanjatkan oleh sahabat Umar bin Khattab ra,

اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي شَهَادَةً فِي سَبِيلِكَ وَاجْعَلْ مَوْتِي فِي بَلَدِ رَسُولِكَ صلى الله عليه وسلم

Ya Allah, karuniakanlah kepadaku syahid di jalan-Mu, dan jadikanlah kematianku di kota Rasul-Mu saw. (Diriwayatkan oleh Bukhari)

Sejarah membuktikan bahwa sahabat Umar bin Khattab ra ditikam ketika sedang melaksanakan ibadah shalat dan saat itu beliau bertindak sebagai imam.

Berikut adalah sebagian doa yang bisa kita amalkan agar kita mendapatkan husnul khotimah:

أَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِي الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ

Aku berlindung kepada-Mu agar tidak disesatkan setan ketika kematian.(HR. Ahmad dan Abu Daud)

اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

Ya Allah, wahai Zat yang mengarahkan hati, arahkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu (HR. Muslim)

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Wahai Zat yang membolak-balik hati, teguhkanlah hati kami pada agama-Mu (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Hakim)

Muflih A. Adnan

504 Jackson Pl

Calgary, AB

Canada

Sabtu, 12 November 2022 pukul 5.35 pm

Memperbaiki niat hidup

 

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah jumat yang dirahmati Alloh swt.

Pada kesempatan siang hari ini, khotib mewasiatkan kepada diri sendiri dan kepada jamaah agar senantiasa meningkatkan ketaqwaan kepada Alloh swt. Salah satu wujud taqwa kepada Alloh swt adalah senantiasa menjaga niat dalam menjalani hidup ini. Sebagai manusia, tujuan hidup kita di dunia ini adalah beribadah kepada Alloh swt. Alloh swt berfirman:

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (QS Adz Dzariyat : 56)

Read more of this post

Ciptaan Alloh swt

fluid mechanics

Alloh menciptakan makhluk-Nya dengan desain yang sangat sempurna. Mengapa bakteri dikaruniai ekor yang sangat panjang (namanya flagel) sedangkan ikan cukup pendek saja. Jawabannya bisa dijelaskan dengan bilangan Reynolds (Re). Bagian pembilang bilangan Reynolds adalah inertial term, sedangkan bagian penyebut adalah viscous term (hanya ada satu suku, yaitu miu yang melambangkan viskositas/kekentalan fluida).

 

Read more of this post